Menurut Ibnu Shalah dalam adab Al Mufti wal Mustafti menjelaskan syarat seorang mufti diantaranya adalah harus seorang muslim yang mukallaf, harus mampu dipercaya, terhindar dari perbuatan tercela (fasik) yang bisa menjatuhkan harga dirinya. Hal ini menjadi penting bila tidak terpenuhi maka dirinya tak bisa dipercaya walaupun ia mampu berijtihad.
Syarat lainnya adalah seorang Mufti harus mampu mengendalikan diri, sehat akal fikirannya dan mampu menggunakan daya upaya untuk menghasilkan jawaban permasalahan yang ada.
Hal-hal yang harus dikuasai oleh seorang Mufti harus memiliki kemampuan untuk menggali sebuah hukum dari Al Qur’an, hadist, Ijma’, Qiyas juga mampu menguasai beberapa disiplin keilmuan mulai Usul Fikih, Ilmu-ilmu Al Qur’an, Ilmu Hadist, Nasikh Mansukh, Ilmu Nahwu, Bahasa Arab, mengetahui kesepakatan dan perbedaan pendapat ulama dalam menyikapi sebuah hukum.
Perilaku Ulama’ dahulu Saat Diminta Memberikan Fatwa
Ada banyak keterangan tentang prilaku atau sikap ulama’ terdahulu saat ditanya tentang berbagai hal, jika mereka merasa tidak mengetahui maka mereka menjawab dengan jujur bahwa dirinya tak tahu. Hal ini sesuai keterangan dalam Fatawa Dar Al-Ifta’ al-Misriyyah
وكان ابن عمر يسأل عن عشر مسائل فيجيب عن واحدة ويسكت في تسع ، والإمام مالك سئل عن ثمان وأربعين مسألة فقال فى اثنتين وثلاثين منها : لا أدرى .
Ibnu Umar ditanya sepuluh hal tapi ia hanya menjawab satu saja serta tak berkomentar terhadap sembilan masalah yang lain. Begitu juga Imam Malik ditanya tentang 48 pertanyaan. Dalam menjawab 32 pertanyaan ia berkata: “saya tak tahu,”
Bahkan dalam Mu’jam Al-Kabir karya imam Thabrani ada penjelasan yang sangat bijak saat menghadapi masalah yang belum diketahui jawabannya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ: إِنَّمَا الْأُمُورُ ثَلَاثَةٌ: أَمْرٌ يَتَبَيَّنُ لَكَ رُشْدُهُ فَاتَّبِعْهُ، وَأَمْرٌ يَتَبَيَّنُ لَكَ غَيُّهُ فَاجْتَنِبْهُ، وَأَمْرٌ اخْتُلِفَ فِيهِ فَرُدَّهُ إِلَى عَالِمِهِ “رَوَاهُ الطَبْرَانِيُّ
Artinya: Diriwayatkan dari ibnu Abbas, dari Nabi Muhammad Saw: “Bahwasanya Nabi Isa bin Maryam AS berkata: “sesungguhnya permasalahan dikategorikan menjadi tiga. Pertama, sesuatu yang telah jelas petunjuknya maka ikutilah. Kedua, sesuatu yang terlihat jelas kesesatannya maka jauhilah. Ketiga, sesuatu yang masih diperselisihkan maka tanyakan kepada orang yang mengetahuinya (ulama’). (HR. Thabrani).
Dari penjelasan ini, manusia ketika mencapai derajat yang tinggi dalam bidang keilmuan, namun banyak hal yang belum ia ketahui maka ia harus selalu belajar atau bertanya kepada yang lebih tinggi ilmunya daripada dirinya. Pada dasarnya hal yang sangat dikhawatirkan adalah ketika seseorang memberikan fatwa tanpa didasari ilmu maka ia telah berdusta kepada Allah dan rasulnya serta menyesatkan dirinya sendiri dan orang lain yang mengikuti fatwa tersebut.