Meski sudah belasan tahun meninggalkan kita, ide dan pemikiran tentang perdamaian KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) semakin menarik untuk dikaji dan menjadi pijakan perjalanan kehidupan warga dunia (baca: bukan hanya Indonesia). Hal ini dianggap penting lantaran pemikiran-pemikiran perdamaiannya terbukti membawa berkah dan manfaat besar bagi kemaslahatan bersama.
Saat itu, ide-ide pluralisme yang melekat pada diri Gus Dur sejatinya merupakan perkara yang tidak banyak dimiliki oleh setiap tokoh Islam. Bahkan banyak tokoh agama-agama yang terlihat semakin menjaga jarak dengan perbedaan manakala merasa dirinya sudah semakin mendalam dalam ilmu agama dan kedekatan dengan Tuhannya. Mereka berusaha hanya fokus pada mengurusi diri dan orang-orang yang hanya berkaitan dengan proses hablun min Allāh (saja) tanpa merawat hablun min an-nās. Namun, berbeda dengan yang dilakukan oleh Gus Dur. Meski ia merupakan keturunan kiai besar, namun ia justru memiliki gagasan pluralisme yang justru diikuti oleh masyarakat dunia, bahkan para tokoh agama lain.
Bermula dari sinilah sangat penting untuk digali, apakah yang melatarbelakangi sikap toleran, bahkan Gus Dur memiliki gagasan pluralisme? Pertama, Gus Dur merupakan sosok yang terbiasa hidup bersama dengan orang-orang miskin. Meski ia merupakan keturunan ulama besar (kakeknya merupakan pendiri NU dan Pesantren Tebuireng) dan putera Menteri Agama (KH Wahid Hasyim) namun tidak pernah hidup bermanja-manjaan. Bahkan, dalam bersekolah saja, ia memilih bersekolah bersama anak-anak miskin.
Gus Dur memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar KRIS di Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga dan kemudian di kelas empat. Akan tetapi ia kemudian pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari, yang terletak di dekat rumah keluarga mereka yang baru di Matraman, Jakarta Pusat (Greg Barton, 2003).