Meskipun banyak ahli tafsir seperti al-Qurṭubi, Ibnu Katsir dan Muhammad ibn Ṭahir ibn ‘Asyur, sama-sama sepakat, Allah-lah yang memberikan keunggulan laki-laki atas perempuan, sehingga perempuan tidak pantas menduduki posisi strategis di ruang publik. Seiring waktu, pendapat tadi sudah terbantahkan dengan sendirinya oleh fakta-fakta di lapangan (Muhammad, 2007).
Aborsi dalam Pandangan Husein Muhammad
Dalam laporan The United Nations Population Fund (UNFPA) tahun 2022, sebanyak 60 persen kehamilan yang tak diinginkan berakhir dengan aborsi. 45 persen dari usaha aborsinya tidak aman. Hal ini mengakibatkan 5 sampai 13 persen peningkatan angka kematian ibu hamil.
Husein Muhammad, dalam buku “Islam Agama Ramah Perempuan”, membagi hak-hak reproduksi dalam empat bagian yakni: Pertama, hak untuk menikmati hubungan seksual. Kedua, hak untuk menolak hubungan intim. Ketiga, hak menolak kehamilan bagi seorang perempuan. Dan keempat, adalah hak untuk aborsi (Muhammad, 2013).
Pada Musyawarah Nasional (MUNAS) Alim Ulama tahun 2014, Nahdlatul Ulama dalam forum Bahtsul Masail, menjelaskan bagaimana hukum melakukan aborsi atau dalam bahasa fiqh disebut ijhāḍ. Hasilnya, ijhāḍ pada dasar hukumnya adalah haram. Tetapi, apabila dalam keadaan darurat seperti mengancam ibu dan/atau janin yang dikandung, maka aborsi diperbolehkan. Selama dalam pertimbangan medis dan tim dokter ahli (MUNAS NU, 2014).
Husein Muhammad sengaja mengkategorisasi ijhāḍ sebagai hak reproduksi perempuan. Landasannya yaitu adanya yurisprudensi dari para ulama fiqh yang membolehkan ijhāḍ dengan keadaan darurat. Kemudian dalil yang digunakan untuk menjawab persoalan ini adalah Alquran dan Hadits, lalu diperkuat dengan beberapa kaidah fiqh, bagaimana maslahah dan mafsadat-nya atas ijhāḍ. Dan yang terakhir, gagasan Husein Muhammad dianggap relevan dengan jaminan kesehatan reproduksi perempuan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.