Masyarakat Jawa pada khususnya, yang telah lama berinteraksi dengan budaya-budaya global, melalui teknologi informatika, sistem telekomunikasi, dan perangkat keilmuan modern saat ini, masih mengamalkan, menghayati dan mempertahankan budaya-budaya lokal yang diwariskan oleh leluhur mereka. Diantara tradisi tersebut adalah tradisi selamatan yang terkait dengan peristiwa kematian seorang warga, dari komunitas penganut tradisi tersebut. Bahkan, selamatan seperti ini sudah menjadi tradisi banyak orang di bumi Indonesia, meskipun tradisi tersebut terkesan berbeda atau berlawanan dengan prinsip-prinsip hidup yang modern.
Bentuk dari selamatan ini, diselenggarakan oleh masyarakat penganut tradisi ini, dengan menyajikan makanan kepada para pentakziah yang datang di rumah duka. Ahli keluarga rumah duka tersebut, dengan bantuan sanak saudara dan tetangganya, menyiapkan makanan untuk jamuan para tamu yang melawat, atau sekedar berbela sungkawa. Kemudian diteruskan dengan prosesi pembacaan Al-Qur’an, tahlil, dan doa yang dimaksudkan untuk membantu meringankan perjalanan kubur yang mati.
Di sini, tidak ada salahnya, jika kita simak lebih cermat lagi, bahwa anggapan selamatan bagi orang meninggal tersebut sama sekali bukan warisan Islam budaya lokal, tradisi yang diwariskan oleh agama lain, bahkan bukan tradisi kultur “Jawa” dan sebagainya. Tetapi sebenarnya tradisi membuat acara selamatan selama tujuh malam bagi orang meninggal, murni warisan agama Islam sejak zaman sahabat, yang turun temurun menjadi tradisi umat, yang dijaga hingga kini. Jadi jangan heran kalau kenduri atau selamatan ternyata juga diselenggarakan di tanah arab. Imam As-Suyuthi mengatakan: “tradisi “selamatan” (ritual doa dan sedekah makanan, dimana pahalanya dihadiahkan kepada si mayit) selama tujuh hari, yang mengiringi kematian seseorang, masih berlangsung di kota suci Mekah dan Madinah, dari dulu hingga saat ini. Tradisi tersebut terus berjalan berkesinambungan dari masa sahabat Rasulullah Saw hingga sekarang ini. Penduduk kedua kota suci mewarisi tradisi “selamatan” tersebut, dari generasi ke generasi secara estafet, sejak masa sahabat Nabi Saw”.[1]
Benarkah demikian? Adakah hadits tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari? Lantas bagaimana kualitas hadits tersebut, kuat atau lemah (shahih atau dla’if)? Kenapa ada pengkhususan hitungan tiga hari, tujuh hari, maupun yang keempat puluh hari, apa peran dan hikmahnya? Kenapa mesti ada selamatan dan sedekah dengan makanan? Bukankah rasanya janggal – kalau tidak dikatakan “dibuat-buat” atau pembodohan terhadap umat – bahwa selamatan ini warisan sahabat? Sudah tentu tanda tanya seperti ini, kadang masih menghiasi batin kita, baik bagi kita yang rajin mengamalkannya, maupun orang yang menentangnya.
Kebanyakan orang, sebenarnya kurang mengetahui tuntunan syari’at dalam mengiringi prosesi pasca meninggalnya seseorang. Apakah cukup didoakan sewajarnya oleh ahli keluarganya dengan hanya berdiam diri di rumah masing-masing? Apa mesti mengundang sanak saudara dan tetangga kita, untuk berkumpul di rumah duka selama tujuh malam, mengadakan selamatan, tahlil, berdoa bersama untuk si mayit, sedang yang punya hajat menyajikan makanan untuk semua tamu yang datang selama tujuh malam itu? Bukankah keluarga tersebut sedang tertimpa duka, kenapa mereka mesti menyajikan makanan? Bukankah itu malah memberatkan, seperti ungkapan “udah jatuh tertimpa tangga”? mana bentuk keadilannya, sehingga yang berduka malah berhutang kesana-sini untuk mengadakan acara makan-makan itu? Apakah ini masuk akal?