Selama proses menurunkan hukumnya, Islam sangat bijak melihat tatanan masyarakat lebih dulu. Misalnya tercermin dalam ayat-ayat yang diturunkan di Makkah dan Madinah. Di Makkah, ayat-ayat yang turun berkaitan dengan pengukuhan tauhid dan baru berbicara tentang hukum Islam secara rinci pada ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah. Hal ini mempertimbangkan pola masyarakat Islam saat itu yang sudah mapan, (hal. 16-17).
Setelah kemapanan masyarakat Islam sudah semakin maju dan berkembang, terjadilah pergeseran perlakuan terhadap syariat. Diceritakan juga oleh Khudlari Bik, pada masa kibar as-Sahabah dari tahun 11 hingga 40 hijriyyah, potret perpolitikan umat Islam semakin berkembang cukup baik. Abu Bakar diminta sebagai pengganti Rasulullah yang pertama kali berhasil melebarkan sayap kekuasaannya hingga masuk di wilayah kerajaan Persi dan Romawi.
Namun sebelum kekuasaan Islam mendapatkan kejelasan, Abu Bakar sudah wafat. Lalu digantikan oleh Umar yang berhasil mendirikan kota-kota besar Islam di berbagai wilayah. Di sebelah Timur berhasil mengusai hingga sungai Amudariya (Amudiya), di sebelah Utara hingga Suriyya dan Armenia, di sebelah Barat hingga ke Mesir. Di Mesir berhasil mendirikan kota-kota besar seperti di Fusthat, Kufah dan Bashrah, (hal. 103).
Lalu bagaimana perlakukan terhadap Al-Qur’an dan Sunnah pada masa kedua ini? Khudlari Bik memberikan awal diskripsinya cukup unik. Ia mengatakan termasuk bentuk internalisasi dari Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur, begitu juga pengamalan yang dilakukan oleh para shabat kibar ini juga demikian. Perdebatan pertama terjadi di era Abu Bakar atas usulan Umar agar mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an menjadi satu mushaf.
Pertama kali, Abu Bakar menentang usulan Umar karena hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah. Akan tetapi setelah ia mempertimbangkan dengan baik terkait dengan wafatnya para penghafal Al-Qur’an yang justru menimbulkan ancaman serius terhadap eksistensi Al-Qur’an jika tidak segera dikumpulkan, akhirnya ia menerima usulan Umar tersebut. Meskipun Abu Bakar belum sempat menindaklanjuti proyek jam’ul Qur’an itu, (hal. 105).
Buku yang ditulis oleh Khudlari Bik ini menawarkan pembacaan terhadap hukum Islam secara historis, untuk menggugah umat Islam terus mengalami progress menuju peradaban yang maju. Dan tentu lebih dahsyat dibanding hanya menggunakan pembacaan hukum Islam secara normatif.
Baca Juga:
Ngaji Kitab “Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm”