Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dalam al-Mizan al-amal menyatakan bahwa jiwa moderat (al-‘adalah) itu adalah cerminan keberhasilan memadukan tiga daya manusia. Daya akal yang dimoderasi akan membuahkan akhlak yang penuh hikmah (bijaksana). Daya ghadhab (emosi) yang dimoderasi akan melahirkan akhlak syajaa’h (keberanian), dan daya syahwat (hasrat) akan melahirkan akhlak ‘iffah (penjagaan diri).
Kebijaksanaan adalah moderasi kekuatan akal, keberanian adalah moderasi kekuatan nafsu amarah, pemeliharaan diri adalah moderasi daya syahwat, dan moderasi ketiganya disebut tawasuth, atau proposional. Moderasi akal yang melahirkan hikmah atau kebijaksanaan, selaras dengan
surat An-Nahl ayat 125, ‘Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan’ yang maksudnya adalah mengajak dengan hikmah ilmu, dan bukan dengan kekosongan. Dengan demikian capaian puncak akal atau capaian tertinggi kecerdasan itu adalah kebijaksanaan.
Abdullah Ibn Abbas (w. 68 H), pakar tafsir Qur’an, sepupu Rasulullah, pernah menyatakan bahwa puncak akal itu ada tiga, sebagaimana tersebut dalam karya Syekh Abu Laits as-Samarqandy (w. 393 H), Tanbihul Ghafilin berikut ini:
Abdullah ibn Abbas ditanya, “Wahai Ibn Abbas, apakah ‘puncak akal’ (Ra’s al-‘Aql) itu?” Ibn Abbas menjawab (tiga hal). Pertama, ketika seseorang memaafkan orang yang menzaliminya (an ya’fuwa al-rajulu ‘aman dzalamahu). Kedua, ketika ia merendahkan hati pada orang yang di bawahnya (an yatawadla’a liman dunahu). Ketiga, ketika ia menimbang pikir kemudian baru berkata (an yatadabbara tsumma yatakallama).