Tema tawakkal sebenarnya tema yang mungkin sering kitaa dengar dan baca baik di medsos maupun buku-buku tentang keislaman. Meskipun demikian, tema ini tetap hangat dan aktual untuk diangkat kapan saja terutama dalam kondisi pandemi Covid-19 ini. Dalam kondisi pandemi ini, saya kadang mendengar ungkapan yang kurang lebih sebagai berikut:
“Sudahlah tawakal saja pada Allah, kalau memang ditakdirkan kena-kena. Kenapa repot-repot jaga jarak, pakai masker, dikit-dikit pakai hand sanitizer, cuci tangan…”. Bahkan ada yang menyindir: “Mana ada sholat berjamaah shafnya renggang dan jauh lagi, kan Rasul menyuruh agar rapat dan lurus, kok seperrtinya kita takuat amat sama Corona…”
Bila mendengar omongan dan celotehan seperti di atas, ya.. saya senyum saja dan kadang saya sambut juga dengan kalimat candaan; ”Bukan takut sama corona, nanti kalau sudah kena, yang susah siapa? kan kita-kita juga. Sudah badan kagak enak karena sakit, biaya pengobatan juga bebanin angggaran negara, atau bisa jadi malah biaya sendiri… kan lumayan mahal. Dan yang paling saya khawatirkan, kalau meninggal…apa sudah siap bekal untuk nanti di akhirat, kalau sudah siap ya sudah ente datangi tuh orang-orang yang sakit terkena corona.” Kalau saya sudah bicara begini, biasanya sih jamaah dan para sahabat pade senyum…termasuk yang baca renungan subuh saat ini. He he.
Kita memang kadang salah kaprah dalam mengunakan kata tawakkal. Seakan tawakkal itu sama dengan pasrah. Padahal makna tawakkal tidak sesederhana kata pasrah. Nah renungan subuh mencoba mengangkat masalah ini, karena yang pertama ada request, dan yang kedua, lagi bingung mau nulis apa….he he jadi yang terlintas ya request tersebut. He he
Dari sisi bahasa tawakkal berasal dari kata yang terdiri dari huruf ك, و dan ل yang kemudian mendapatkan huruf tambahan yaitu ت dan huruf kaf-nya ditasydidkan sehingga menjadi Tawakkal. Arti kata ini antara lain menjamin dan bersandar, tunduk dan patuh. Dari arti secara bahasa saja kita bisa mengatakan: “ Bagaimana bisa dikatakan tawakkal kepada Allah kalau tidak tunduk dan patuh pada-Nya. Bukti ketundukan dan kepatuhan adalah kita melaksanakan perintah-Nya. Dan Salah satu perintah Allah yang harus kita taati adalah berusaha dan berikhtiar, bukan pasrah tanpa ikhtiar.”
Dalam satu hadits riwayat Anas bin Malik RA menceritakan :
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
“ada seseorang berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam; “Wahai Rasulullah, aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakkal, atau aku lepas ia dan aku bertawakkal?’ Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjawab: ‘Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah (kepada Allah).” (HR. At-Tirmidzi).
عن عمر بن الخطاب يقول : إنه سمع نبي الله صلى الله عليه وسلم يقول: لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُوا خِمَاصاً وَتَرُوْحُ بِطَاناً
“Sungguh seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezekinya burung-burung. Mereka berangkat pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang” (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi).
Baca Juga: Ikhlas atau Ridho
Dalam kitab Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam diceritakan suatu saat Khalifah Umar bin Khattab melihat sekelompok orang dari Yaman yang mengaku sebagai orang-orang yang bertawakkal (mutawakkilun) dimana mereka hanya pasrah dan tidak melakukan apa-apa. Lalu Umar bin Khattab bertanya kepada mereka: