Pertanyaannya, bagaimana jika menghindari kemadharatan itu berbenturan dengan perintah beribadah? Sebenarnya tidak ada yang berbenturan, karena keduanya—yaitu menghindari madharat dengan perintah ibadah—sama-sama perintah syariat. Tujuan keduanya pun juga mendekatkan diri kepada Allah Swt. Seorang yang dalam posisi terancam tertular Covid-19 di tempat tinggalnya, dan kemudian sekuat tenaga menjaga prokes seperti menghindari kerumunan di berbagai tempat termasuk menghindari kerumunan di tempat ibadah, juga merupakan bagian dari pelaksanaan syariat Islam.
Syariat Islam memberikan perintah pelaksanaan ibadah, termasuk kewajiban pelaksanaan shalat Jum’at dengan kriteria dan persyaratan tertentu. Pelaksanaan ibadah dilakukan setelah terpenuhi kewajiban perlindungan hidup dan kehidupan (hifzh al-nafs). Pelaksanaan ibadah dalam Islam juga harus dilakukan di tempat yang mendukung keamanan muslim dan mendukung kekhusyukan ibadah. Dua hal ini harus dipenuhi terlebih dahulu, baru kemudian memenuhi kewajiban ibadah atau menggantinya dengan kewajiban ibadah yang lain.
Dasar argumentasi pelaksanaan shalat Jum’at, tidak perlu diragukan lagi, hukumnya fardhu ayn bagi laki-laki, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” [QS. al-Jumu’ah: 9].
Namun pemberlakuan hukum ini berdasarkan kriteria dan ketentuan yang telah digariskan oleh syariat Islam, di antaranya adalah tidak bertentangan dengan pelaksanaan perintah melindungi hidup, dan menjauhi marabahaya yang mengancam tubuh, nyawa, dan hidup. Karena meninggalkan kemafsadatan adalah prioritas (dar` al-mafâsid muqaddam) di atas semua bentuk klaim kemaslahatan (mashâlih).
Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik,” [QS. al-Baqarah: 195].
Di dalam kitab “al-Mughnîy” (Juz III, hal. 218) dikatakan, “Dan tidak wajib shalat Jum’at bagi orang yang di jalannya terdapat hujan lebat yang membuat pakaian basah kuyup, atau (terdapat) lumpur yang sangat menyulitkan pejalan kaki.”
Dalam kondisi saat ini, ancaman pandemi di wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur/Madura, sangat mengkhawatirkan, penyebarannya yang cepat, sangat membahayakan bagi jamaah, dan tentunya bagi keluarga jamaah, seperti istrinya, ibunya, ayahnya, atau anak-anaknya. Satu orang jamaah bisa menyebarkan Covid-19 varian delta ke seluruh anggota keluarga.
Pelaksanaan ibadah dalam Islam tidak kaku/rigid, banyak alternatifnya, pelaksanaan shalat Jum’at dapat diganti dengan shalat Zhuhur di dalam rumah. Allah Swt. berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu,” [QS. al-Baqarah: 185].
Bahkan dengan melaksanaan shalat Zhuhur di dalam rumah pahalanya jauh lebih besar ketimbang pelaksanaan shalat Jum’at di tengah pagebluk Covid-19, ada banyak orang yang diselamatkan seperti perempuan, lansia, anak-anak. Sementara pelaksanaan shalat Jum’at yang dipaksakan justru berpotensi besar mendatangkan dosa, apalagi jika ternyata karena pelaksanaan shalat Jum’at itu ada jamaah yang membawa Covid-19 ke dalam rumah dan menyebabkan perempuan, lansia, dan anak-anak terancam nyawanya, bahkan kemudian menyebabkan kematian salah satu anggota keluarga. Dalam fikih disebut pembunuhan tidak disengaja (al-qatl bi ghayri ‘amdin), diyatnya mahal, termasuk tindakan kriminal (jinâyah) dan dosanya sangat besar.[]
Baca Juga:
PPKM: Pedoman Progresif bagi Komunitas Muslim