Arkian, alasan teologis apalagi yang dapat dipakai untuk menolak ajakan dan seruan toleransi dalam beragama tersebut. Yang tersisa tinggal bagaimana menbumikan toleransi dalam beragama itu di bumi, khususnya Indonsia?
Implementasinya di Indonesia
Telah cukup lama bangsa Indonesia merasa bangga atau dibanggakan sebagai bangsa yang memiliki tingkat toleransi dan kerukunan beragama yang tinggi. Namun, dalam perkembangannya yang paling kontemporer, kebanggaan itu telah luluh luntak oleh deretan kekerasan yang (terus terang) beraroma agama. Bagaimana tidak, dalam realitasnya, para pelaku tindak kekerasan yang sekaligus penganut agama itu kerap membakar tempat-tempat ibadah agama tertentu, seperti gereja dan masjid. Sudah berapa ribu nyawa yang melayang akibat konflik-konflik agama semacam itu. Serangkaian kekerasan tersebut, diakui atau tidak, telah membuyarkan kebanggaan masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang toleran, tenggang rasa, anti-kekerasan dan sebagainya.
Dalam tataran itu, gerakan kelompok agamawan tertentu yang mengambil jalan kekerasan di dalam melancarkan misi agamanya, bagaimanapun, telah memberikan saham yang tidak sedikit bagi corengnya wajah agama. Soalnya, apakah mereka sudah berpikir bahwa tindak kekerasan itu dalam kenyataannya tidak menghasilkan keuntungan yang banyak bagi agama itu, melainkan justru bersifat kontraproduktif bahkan menodai wajah agama yang pada era formatifnya sangat santun, damai, dan riang gembira.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana intoleransi dan kekerasan yang berbau agama itu mesti diakhiri? Dalam konteks pertanyaan tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah yang strategis-sistematis bagi upaya pribumisasi ajaran toleransi dalam beragama. Misalnya, pertama, oleh karena upaya pendistribusian toleransi beragama bukan perkara mudah dan gampang, maka diperlukanlah sebuah ijtihad yang dikenal sebagai ijtihad tathbiqiy. Di dalam melakukan aktivitas ijtihad seperti ini dibutuhkan kehadiran banyak orang yang datang dari pelbagai jenis agama. Karena merumuskan juklak dan juknis toleransi beragama dalam lokus Indonesia yang plural tidak bisa ditentukan oleh segelintir orang (fardy) yang datang dari agama tertentu saja, melainkan harus dirembuk secara kolektif (jama’iy) dengan melibatkan semua agama yang ada, paralel dengan struktur masyarakat Indonesia yang memang beragam dari sudut kepenganutan agamanya. Dalam forum inilah perlu dibicarakan tentang banyak hal menyangkut problem-problem krusial di sekitar hubungan antar-umat beragama.
Kedua, perlu dipersiapkan dai/khathib atau misionaris “militan” yang bertugas mensosialisasikan dan mengkampanyekan cita toleransi dimaksud pada tingkat praksis di level akar rumput secara terus menerus. Para elit intelektual yang suka gembor menyanyikan lagu “toleransi dan pluralisme” harus segera turun dari pentas dengan melibatkankan diri secara nyata dalam gerakan toleransi beragama di masyarakat bawah. Dengan cara inilah, maka wacana toleransi tidak hanya melingkar-lingkar secara elitis di kalangan intelektual kota, melainkan justru dapat tembus pada grass-root society. Ini karena disadari bahwa problem toleransi beragama kebanyakannya memang tidak bersemayam pada diri para intelektual, tetapi malah di grass-root level. Sungguh, sebetapapun “seksi” dan canggihnya sebuah pemikiran dari sudut teologis dan filosofisnya jika tidak dapat diimplementasikan di lapangan (dunya al-waqi’), maka tidaklah terlalu banyak guna dan manfaatnya bagi sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia.
Akhirnya, tentu langkah-langkah lain yang lebih cespleng bagi pelaksanaan toleransi beragama di Indonesia dapat ditemukan dan akan mengalami pengayaan melalui perbincangan dalam forum seminar ini. Saya yakin, seminar ini didesain bukan dalam kerangka untuk menjatuhkan vonis dari satu pihak ke pihak lain sebagai murtad dan “sesat”. Karena sesat dan tidaknya suatu perbuatan bukan ditentukan oleh manusia, tetapi oleh Tuhan. Inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabilih wa huwa a’lamu bimanihtada. Sehingga kita tidak tahu apakah kita telah sesat atau belum. Wa inna aw iyyakum la’ala hudan aw fiy dhalal mubin. Segala perselisihan teologis yang berlangsung dalam forum ini serahkanlah pada Tuhan untuk menghukuminya. Inna rabbaka huwa yafshilu baynahum yawmal qiyamah fiyma kanu fihi yakhtalifun.