Tulisan ini seyogyanya ditulis pada tanggal 5 Agustus 2020, atas permintaan seorang sahabat. Karena tanggal tersebut tampaknya memiliki makna khusus, yaitu hari kelahirannya. Makanya beliau request agar Renungan Subuh mengupas masalah umur. Berhubung satu dan lain hal, akhirnya saya baru sempat menulisnya saat ini. Mudah-mudahan tidak terlambat dan sahabat kita tersebut memaafkannya.
Istilah “umur”—secetek pengetahuan saya— berasal dari Bahasa Arab yaitu “umr (عمر )” yang berarti antara lain hidup lama, usia, membangun, mengkostruksi, mendirikan dan memakmurkan (Kamus online al-Maaniy dan al-Munawwir). Dari makna ini kita bisa melihat bahwa umur seyogyanya bukan hanya sekedar lama hidupnya seseorang, yang biasa kita sebut dengan “usia”.
Jadi ketika kita bicara umur seseorang, terkandung makna lain yang bukan hanya sekedar bermakna usia. Oleh karena itulah ada ungkapan bijak mengatakan bahwa “umur itu bagaimana kita mengisi usia kita dengan hal-hal yang bersifat konstruktif (membangun), dan memakmurkan usia kita”.
Tentu dalam hal ini adalah membangun hal-hal yang positif dan bermanfaat buat diri dan orang lain serta kita bisa memanfaatkan usia tersebut untuk melakukan hal-hal yang bersifat memakmurkan baik untuk diri maupun orang lain.Dan tentunya dalam konteks kita sebagai muslim, nilai manfaatnya juga memiliki dimensi ukhrowi tidak semata duniawi.
Baca juga: Saleh Duniawi dan Saleh Ukhrowi
Dengan tidak menafikan pandangan yang berangggapan sama antara usia dan umur—karena di Arab sendiri ketika bertanya tentang usia ya menggunakan istilah “umur”, kam ‘umruk? Berapa umurmu—, paling tidak dengan tulisan tentang umur ini kita mempunyai perspektif lain, sehingga kita terdorong untuk mengisi hari-hari dari usia kita dengan hal-hal yang bermanfaat sehingga masuk dalam kategori “umur”.
Dengan perspektif bahwa usia dan umur berbeda, maka bisa jadi ada orang usianya empat puluh (40) tahun, tapi secara umur baru dua tahun. Mengapa? Karena memang baru dua tahun itulah ia baru memanfaatkan waktu dari usianya untuk hal-hal yang bermanfaat. Dari usia 40 tahun tersebut, baru dua tahun terakhir ia mengisi waktunya dengan amaliah-amaliah yang sesuai dengan tuntunan dan perintah agama.
Umur dua tahun tersebut baru dilihat dari sisi lahiriah yang nampak oleh kita, namun bisa jadi karena selama dua tahun dia beribadah dengan keikhlasan akhirnya ia mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari satu amaliah ibadah yang dilakukan, seperti mendapatkan lailatul qadr misalnya, maka umurnya meski baru dua tahun secara lahiriah tapi dari sisi pahala ukhrowi bisa jadi ia berumur lebih dari dua tahun. Namun sayangnya kita tidak bisa menilai sisi yang ukhrowi ini.
Terlepas dari perspektif tentang usia dan umur di atas, yang jelas kedua-duanya terkait dengan waktu. Waktu yang diberikan Allah kepada kita, sudah sepatutnya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat, terlebih memang kehadiran kita di dunia ini adalah mengabdi/beribadah kepada-Nya.
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. al-Dzariyat: 56)
Quraish Shihab, dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an, menafsirkan huruf lam (Li) pada kalimat “Liya’buduwn” dengan penafsiran yang cukup menarik. Dimana beliau mengatakan bahwa huruf lam (baca: Li) tidak melulu diterjemahkan dengan agar/supaya. Karena huruf lam (li)juga bisa bermakna “akibat atau kesudahan” sebagaimana ayat al-Qur-an surat al-Qashshash ayat 28. Bila huruf lam diartikan agar/supaya maka akan terasa tidak logis.
“Maka dipungutlah dia (Musa) oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya/kesudahannya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.” Huruf lam di sini diartikan “akibat atau kesudahan”. Bukan dengan agar/supaya. Jadi arti ayat tersebut bukan “ …..agar/supaya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.” Tapi artinya adalah :” …..yang akibatnya/kesudahannya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.”
Mengikuti penafsiran Quraish Shihab, maka surat al-Dzariyat ayat 56 di atas, bisa difahami bahwa ayat al-Qur’an tersebut menuntut kepada kita agar kesudahan semua pekerjaan hendaknya menjadi ibadah kepada Allah, apapun jenis dan bentuknya. Karena itulah al-Qur’an memerintahkan kita untuk melakukan aktivitas apapun setelah menyelesaikan ibadah ritual ( M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, 2013, hal. 732).
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ