Husein juga menceritakan, bagaimana awalnya ia membuat konten dengan segmentasi tasawuf. Yang notabene masih sedikit, sulit mencuri perhatian netizen, dan serba problematis.
“Ketika bicara tasawuf kepada para pemuda tersesat, mereka pusing. Juga bicara tasawuf pada kelompok ‘hijrah’, belum apa-apa sudah dituduh bid’ah. Serba problematis!” terang Husein di depan muktamirin.
Gagasan yang kedua, adanya potensi pesantren. Sekitar 30 ribu lebih pesantren di Indonesia mempunyai potensi menampilkan konten-konten keagamaan. Akan tetapi, kalangan pesantren (kelompok moderat) ini kurang militan dalam membuat konten.
“Kelompok moderat ini kurang militan saat membuat konten. Baru upload 2 atau 3 kali, sudah berhenti. Untuk itulah kelompok moderat harus lebih giat kembali di medsos untuk kampanye moderasi beragama.” tutur Husein.
Dalam dunia medsos, seseorang dapat membangun imajinasi dengan dua dimensi. Pertama, dimensi moderat dan kedua, dimensi ekstrimis. Sebagai contoh realitas, banyak terbitan Alquran, dengan memasukkan terjemahan-terjemahan versi kelompok ekstrimis. Media Alquran saja sudah bisa di-framing dengan ideologi tertentu.
Kemudian juga harus memahami basic algoritma, yang saat ini popularitas lebih penting daripada otoritas. Pola pikir pemilik perusahaan media adalah pragmatis. Untuk itulah mengapa perusahaan medsos tidak memikirkan isi konten, dan lebih mementingkan konten viral.
Baca Juga: Mengembalikan Peran dan Marwah Habib di Nusantara (2)