Tulisan ini membahas yang ringan-ringan saja dulu ya !, meski tidak mengabaikan substansi pembahasan kita. Jangan-jangan yang kemarin-kemarin memang sudah ringan, saya saja yang merasa sok berat kupasannya ! he he. Saya awali dengan sebuah cerita.
Jelang siang seorang ibu yang lagi “serius” menyetrika, minta tolong kepada anaknya untuk melihat masakan semur daging untuk persiapan makan siang. Si anak dengan sigap dan cekatan langsung berjalan menuju dapur guna memenuhi permintaan ibunya.
Anak: “Apa yang harus saya lakukan nih bu…?”
Ibu: “tolong liatin masakan semur ibu tuh.., airnya gimana atau kecapnya…..
Anak : “ Iya bu ..masih banyak kok ..kagak kering…”
Ibu : “ ok.. tapi tolong tambah kecap deh biar agak kental dikit..”
Anak : “Baik bu…apalagi nih bu…”.
Ibu : “ Oh iya…..Ibu tadi lupa….tolong kasih salam biar masakannya lebih siiip.”
Si anak mendengar ibu memintanya untuk memberi salam pada masakan semur tersebut, tanpa tanya lagi langsung dia agak mendekatkan mukanya ke arah panci semur dan memberikan salam. “ Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wa barakatuh.”
Ibu : “sudah kasih salamnya.”
Anak : “sudah bu.”
Setelah ibu merasa semur sudah matang, si ibu meninggalkan pekerjaan menyetrikanya untuk mengecek semur dagingnya. Ketika ibu membuka pintu panci, dia bolak-balik daging semur, ibu tidak melihat ada daun salam. Lalu ibu bertanya pada anaknya.
Ibu : “Lho kan tadi ibu minta agar diberi salam….kok ini kagak ada..”
Anak : “Tadi sudah saya kasih salam bu,..assalamu’alaikum …”
Ibu sambal senyum berkata: “ walah wala le le…salam itu maksud ibu…daun salam bukan assalamu’alaikum…..”
Ini contoh kegagalan komunikasi dari Ibu meminta sang anak agar memberikan daun salam, tapi si anak tidak paham maksud ibu. Ya jadilah seperti yang dilakukan si anak, memberi salam dengan “assalamu’alaikum“, bukan memberikan daun salam.
Cerita di atas memberi pesan kepada kita tentang pentingnya membangun pengertian dan dialog secara benar. Kita selaku orang tua hendaknya memahami perkembangan pemikiran ananda kita dan juga jiwa mereka sehingga tidak terjadi kesalahan atau paling tidak meminimalisir kesalahan. Berangkat dari ayat kisah Ibrahim dalam surat ash-Shaffat ayat 102, kita bisa mengambil pelajaran dalam membangun komunikasi dan dialog dengan anak kita, antara lain:
- Pahami perkembangan jiwa dan pikiran anak. Karena ada anak yang butuh penjelasan secara rinci dan kongkrit, tapi ada juga anak yang cukup dengan beberapa kata, dia sudah faham maksud kita. Jangan sampai terjadi seperti kisah daun salam di atas.
- Landasi dengan kasih sayang dan kesantunan/kelembutan. Jangan bicara meledak-ledak sehingga anak takut dengan kita. Bicara yang santun dan lembut sehingga ananda nyaman dengan kita. Coba perhatikan surat Ash-Shaffat ayat 102 di atas. Ibrahim AS mengawali pembicaraanya dengan panggilan “Ya Bunayya”. Beliau tidak memanggil dengan sebutan ‘ya Ibni” atau “ya Waladiy.” Ungkapan ‘bunayya’ dalam Bahasa Arab termasuk Isim Tashgir yang salah satu faedahnya adalah ungkapan yang mendiskripsikan kasih sayang.
Dalam satu hadits dari Ummul Mukminin Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda:
إنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إلاَّ زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu kecuali akan membuatnya indah dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali membuatnya rusak” (HR. Muslim)