islamina.id – EKSTREMISME dan terorisme serta pencarian cara inovatif untuk menghadapinya menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi seluruh dunia saat ini. Terorisme berkembang lebih cepat seiring dengan kemajuan alat untuk menghadapinya, tumbuh, menyebar, dan memperdaya dengan kecepatan luar biasa sehingga perlawanan terhadapnya dalam banyak kasus tak lebih dari sekedar tindakan reaktif belaka.
Ironisnya, organisasi teroris yang digambarkan sebagai organisasi terbelakang, anti-modernitas, anti-inovasi dan anti-kreativitas justru menjadi yang paling mampu berkreasi dan merancang alat untuk menyebarkan, menarik para pendukung, memobilisasi serta mendorong mereka untuk melakukan agenda-agenda kekerasan.
Sementara negara-negara sistemik, yang merupakan salah satu capaian terpenting era modern, didominasi oleh ide-ide konvensional yang monoton, sehingga kurang mampu melawan arus gerakan organisasi-organisasi teroris yang terus mengalami peningkatan. Peristiwa 11 September yang diperingati setiap tahun telah mengubah peta interaksi dunia dengan berbagai aktor kekerasan dan terorisme dan secara tidak adil menstigmatisasi masyarakat Muslim sebagai momok kekerasan dan terorisme.
Barangkali salah satu sebab ironi dan gap dalam perburuan terhadap kelompok-kelompok teroris oleh negara atau bahkan dalam pengambilan langkah-langkah proaktif untuk mencegah orang-orang jatuh ke dalam cengkeraman kelompok-kelompok tersebut sejak awal, atau untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dan terorisme, itu karena terlalu mengandalkan aparat keamanan yang tentu saja tidak cukup untuk menghilangkan ekstremisme.
Ekstremisme dan terorisme, sebagai tantangan yang dihadapi dunia saat ini, tidak cukup hanya dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan nasional, tetapi perlu dilihat sebagai ancaman terhadap intelektualitas, sosial, ekonomi, dan politik.
Ekstremisme antara Kekerasan dan Terorisme
Tidak ada terorisme tanpa ekstrimisme. Ini adalah fakta pertama yang menentukan cara dan strategi apa yang harus ditempuh untuk melakukan pencegahan, sebab terorisme sangat terkait dengan ekstremisme. Fakta kedua terkait dengan korelasi antara ekstremisme dan kekerasan, mengingat terorisme merupakan salah satu bentuknya yang umum, sehingga strategi yang lebih komprehensif adalah dengan menangani akar-akar kekerasan dan lingkungan tempat persemaiannya, bukan menangani peristiwa-peristiwa terorisme semata.
Fakta ketiga terkait dengan banyaknya faktor pemicu ekstremisme sebagai inkubator kekerasan dan terorisme, antara lain:
(1). Faktor struktural yang secara mendasar terpusat pada manipulasi pikiran dan pencucian otak dengan pemahaman-pemahaman keliru mengenai agama dan kehidupan;
(2). Faktor yang terkait dengan lingkungan yang menyuburkan ekstremisme dan mendorong munculnya organisasi-organisasi kekerasan dan terorisme melalui proses bertahap yang dimulai dari sekedar simpati negatif terhadap gagasan ekstremisme dan kekerasan hingga simpati positif dalam bentuk verbal, dukungan finansial, dan keterlibatan dalam protes-protes, hingga keterlibatan dalam tindak-tindak kekerasan;
(3). Faktor yang dapat digambarkan sebagai faktor pemicu atau pendorong untuk membenarkan tindak-tindak kekerasan dan terorisme, seperti hasrat untuk memperoleh kedudukan, keinginan yang kuat untuk menunjukkan identitas, balas dendam, atau adanya unsur-unsur lain yang cenderung untuk berkonflik dan bermusuhan.
Pemahaman yang benar mengenai fakta-fakta tersebut menjadi prasyarat utama untuk membangun strategi perlawanan yang didasarkan pada pendekatan preventif dan pembentukan pemahaman yang sadar mengenai obyek yang harus dicegah. Maka membongkar akar-akar ekstremisme adalah sangat penting, sama pentingnya dengan pemburuan terhadap para pelaku tindak-tindak kekerasan dan terorisme.
Karakteristik Ekstremis
Sangat penting memahami karakteristik ekstremis sebagai calon yang paling potensial dibandingkan yang lain untuk terlibat dalam tindak-tindak kekerasan dan terorisme. Di antara karakteristik itu adalah: (1). Pandangan tunggal (hitam-putih) terhadap fenomena, yang menghalanginya untuk memahami fenomena tersebut secara obyektif; (2). Keyakinan memiliki kebenaran mutlak, sehingga orang yang tidak sepaham dengannya dianggap sebagai musuh; (3). Ketidakmampuan untuk menerima sudut pandang lain, dan; (4). Ketertutupan kognitif dan ketidakterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman lain yang terhampar di hadapannya.
Dengan demikian, kita menghadapi pribadi yang mudah direkrut untuk melakukan tindak-tindak kekerasan dan terorisme dengan upaya yang seminimal mungkin, sehingga sulit bagi pribadi-pribadi seperti itu untuk menerima orang lain yang tidak sepaham dengannya, apalagi jika hal itu disertai dengan tingkat perasaan ketidakadilan sosial atau diskriminasi terhadapnya karena satu atau lain hal.
Karenanya, komponen pemikiran menjadi salah satu komponen terpenting dari strategi pencegahan ekstremisme dan terorisme, berdasarkan prinsip bahwa pemikiran mendahului dan mengarahkan perilaku, dan bahwa ekstremisme pemikiran adalah penentu ekstremisme perilaku. Semua pihak perlu berkolaborasi bersama dalam menyusun strategi tersebut sejak awal dengan menyiapkan mekanisme implementasi spesifik serta unit-unit pemantauan dan evaluasi.