Islamina.id – PADA masa hidup di dalam hutan, manusia tidak menggunakan uang. Di dalam hutan ia selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, sehingga tidak memerlukan proses pertukaran, karena semua hal yang dibutuhkannya ada di tanah hutan, dan pepohonan di dalam hutan adalah untuk semua orang.
Tetapi ketika manusia mulai tinggal dan menetap di daerah-daerah yang berbeda-beda, dan orang-orang di setiap daerah membutuhkan apa yang dimiliki orang-orang di daerah lain, muncul kebutuhan untuk menciptakan sesuatu dengan nilai yang disepakati yang bisa digunakan dalam pertukaran bermacam-macam barang.
Di zaman kuno, bangsa China sepakat menggunakan kerang sebagai alat tukar resmi hingga abad ke-4 SM (Sebelum Masehi) ketika koin muncul. Di Yunani, sapi memainkan peran sangat penting di dalam aktivitas pertukaran. Budak perempuan, misalnya, dijual seharga empat ekor sapi jantan.
Ketika kerusakan dan ketidakmampuan menfragmentasikan alat-alat tukar tersebut menjadi sebab utama hilangnya signifikansi penggunaannya di dalam aktivitas pertukaran, manusia kemudian berpikir untuk menggunakan logam sebagai alat tukar karena dinilai lebih kuat, awet, mudah dijaga, dipindah-pindah, dan difragmentasi.
Mulanya setiap pemilik logam bertanggung jawab membuat uang dan mengukir nama mereka di atasnya. Dan dalam perkembangannya negara turun tangan dengan membubuhkan stempel resmi di atasnya supaya menjadi legal dan supaya orang-orang aman dari pemalsuan dan penipuan emas dan perak.
Mata Uang Awal Islam Datang
Ketika Islam datang, bangsa Arab tidak memiliki mata uang khusus. Di masa Nabi Saw. hingga masa Khalifah Abu Bakr al-Shiddiq ra., umat Muslim menggunakan dirham Persia yang terbuat dari perak tanpa mengubah bentuk atau tulisannya. Selain itu, mereka juga menggunakan dinar Bizantium yang terbuat dari emas karena pengaruhnya yang sangat luas di masa kuno.
Kemudian pada masa Khalifah Umar ibn al-Khattab ra., di tahun ketiga pemerintahannya, dilakukan sedikit perubahan, uang dirham perak dicetak dengan penambahan kalimat “Lâ ilâha illallâh wahdah” (Tiada tuhan selain Allah sendiri) dan “Muhammad Rasûlullâh” (Muhammad utusan Allah) tanpa menghapus gambar kaisar Sasaniyah yang berkuasa di masa itu.
Khalifah Utsman ibn Affan ra. juga mengeluarkan dirham khusus untuk pemerintahannya. Ia membubuhkan ukiran “Allâhu Akbar” (Allah Mahabesar) pada uang dirham. Beberapa sumber menyebutkan bahwa orang pertama yang membuat cetakan untuk menempa uang perak Islam adalah Khalifah Ali ibn Abi Thalib ra. di Basrah pada tahun 40 H.
Di dalam buku “al-Hadhârah al-Islâmîyyah, Tsaqâfah, Fann, wa ‘Umrân” karya Abdussalam Kamal, disebutkan bahwa upaya Khalifah Abdul Malik ibn Marwan mencetak uang Islam (dinar emas dan dirham perak) menjadi salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Islam yang membawa pengaruh besar dari sisi ekonomi dan politik, baik lokal maupun global.
Mata Uang Masa Khalifah Abdul Malik
Khalifah Abdul Malik memandang bahwa untuk mendapatkan posisi penting di dunia, imperium Islam harus mempunyai mata uang sendiri. Ia pun mengganti uang Bizantium dengan uang Islam yang digunakan di seluruh wilayah Islam. Uang itu dicetak secara manual sampai mesin cetak koin ditemukan pada 1870 M di Jepang dan disebarkan ke berbagai negara.