Islamina.id – DALAM beberapa tahun terakhir, banyak tulisan bermunculan, mulai dari artikel, kajian, dan penelitian, yang menunjukkan bahwa salah satu solusi terbaik untuk menghadapi gagasan dan ideologi aliran Islam ekstremis dan jihadis adalah menggalakkan nilai-nilai sufisme atau tasawuf. Sejumlah penelitian menyajikan penemuan-penemuan menarik mengenai apa yang dapat ditawarkan aliran sufisme sebagai alternatif dari ideologi ekstremis.
Menghadapi gagasan ekstremisme agama di dunia Islam sebenarnya bukanlah topik baru, banyak sarjana yang menulis dan membicarakannya sejak kemunculan kelompok-kelompok takfiri pada tahun 1970-an dan puluhan tahun setelahnya. Tetapi mayoritas negara-negara Islam, baik karena keengganan atau ketidakmampuan mereka, tidak menganggap serius apa yang dikemukakan.
Seruan dan desakan untuk melakukan pembaharuan tidak berhasil mendorong negara-negara Islam mana pun di dunia untuk secara serius mempertimbangkan perubahan kurikulum pendidikan guna mengekang laju perkembangan wacana keagamaan ekstremis. Sementara, sebagian besar prakarsa lembaga-lembaga keagamaan hanya berhenti pada ‘kulit luar’ dan ‘ungkapan-ungkapan verbal’.
Baca juga: 3 Karakter Sufi, Imam Junaid dan Ajaran Tasawufnya
Selama umat hanya didoktrin atau dicekoki, misalnya, bahwa agamanya adalah yang terbaik dan lebih tinggi dari semua agama lain, dan bahwa nilai individu terkait erat dengan afiliasi agamanya (bukan dengan sejauh mana ia bermanfaat bagi orang lain dan kemanusiaan), maka setiap pembicaraan tentang pembaruan tidak lebih dari sekedar retorika untuk mengelabuhi harapan masyarakat.
Sufisme sebagai Pengalaman Individual
Sebagian kalangan, terutama kaum sekuler, meragukan sufisme bisa menjadi solusi alternatif dalam mengatasi ekstremisme. Salah satunya karena, sufisme, sebagai sebuah tren spiritual, tidak pernah menjadi gerakan massal. Benar bahwa jutaan Muslim masih menghormati simbol-simbol sufisme, tetapi jumlah sufi atau pengikut tarekat sufi di antara mereka dibatasi jumlah penduduk di setiap tempat di mana mereka hidup.
Sufisme, menurut mereka, bukan mazhab agama, dan para pengikutnya tidak berusaha mendakwahkan dan merekrut pengikut-pengikut baru. Dalam kebanyakan tarekat sufi, orang atau murid baru harus berusaha sendiri dan menunjukkan kesiapan untuk bergabung dengan tarekat tersebut. Untuk mencapai sesuatu yang bernilai, ia harus berusaha dan menyediakan waktu untuk itu.
Pada umumnya, sufisme berfokus pada pengalaman pribadi manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dan percaya bahwa setiap orang mempunyai jalannya sendiri. Berbeda dengan mazhab agama yang menunjukkan satu pengalaman dan setiap orang harus mengikutinya. Dalam pengertian ini, tasawuf adalah pengalaman individual, bukan pengalaman kolektif. Sehingga sangat sulit untuk mengubah sufisme menjadi gerakan massal.
Baca juga: Revitalisasi Kebangkitan Umat Islam ala Muhammad Abduh
Sufisme, karena merupakan gerakan spiritual, mengajak pengikutnya untuk fokus pada bagian dalam manusia daripada di luar dirinya, dan bahwa manusia harus mereformasi dirinya terlebih dahulu sebelum menuju orang lain. Dan karena reformasi diri sejak awal membutuhkan pengetahuan, maka seluruh prosesnya membutuhkan waktu yang mungkin menyita sebagian besar kehidupan orang itu sendiri.
Itulah alasan mengapa para sufi tampak kurang tertarik pada kerja-kerja publik, apalagi terlibat dalam politik. Bahkan meskipun mereka mengutarakan pendapat terkait hal tersebut, itupun karena mereka diminta.