Islamina.id – Agama lahir ke muka bumi bukan hanya untuk disakralkan, tetapi juga sebagai media kritik dan sarana transformasi sosial. Pemikir Islam, seperti Mohammad Arkoun, Hasan Hanafi, Abed al-Jabiri dan sebagainya mengandaikan agama sebagai ruang kritik dan tidak pernah bebas nilai (free value).
Agama secara normatif menyuguhkan doktrin yang membebaskan, sebagai sarana transendensi diri dan petunjuk (hudan li al-nass) bagi segenap alam. Namun, tujuan mulia ini jarang hadir ditengah-tengah realitas sosial-kemasyarakatan.
Alih-alih menjadi way of life, agama seringkali justru menjadi salah satu hambatan teologis untuk membangun persaudaraan secara universal (ukhuwah basyariyah), membangun peradaban, dan membebaskan kaum yang tertindas. Aksi teror dan kekerasan yang belakangan marak acap bergandengan dengan semangat agama, sehingga terorisme seringkali diidentikkan dengan fundamentalisme agama. Tentu saja, anggapan seperti ini tidak proporsional dan sangat kontra-produktif.
Namun, belakangan ini, agama seringkali digugat, dikritik, dituding dan dihujat. Ungkapan Marx, agama sebagai candu masyarakat adalah salah satu contoh gugatan terhadap agama. Lalu, mungkinkah dan adakah yang salah dalam agama ?. Bagaimana mungkin, Tuhan yang Maha Kuasa, tidak pernah salah menurunkan sebuah agama yang tidak sesuai dan relevan dengan agama ?
Berkaitan dengan itu, penting kiranya untuk membedakan antara agama (al-din), dengan pemikiran keagamaan (al-fikr al-diniyah). Agama adalah bersifat universal, absolut Sementara pemikiran (ke)agama(aan) bersifat ijtihady, dhanny, relatif, nisbi dan partikular. Karena itulah, menuduh, menyalahkan atau mengkritik agama adalah kurang arif. Namun yang perlu direkonstruksi dan ditafsir ulang adalah pemikiran keagamaan. Sebab, pemikiran keagamaan muncul dan hasil dari dialektika antara teks agama dengan teks sosial, atau antara yang absulot dengan yang relatif.
Karena itulah, pemikiran keagamaan yang tidak signifikan dan relevan harus didekonstruksi menjadi sebuah pemikiran keagamaan yang baru sesuai dengan semangat agama yang membebaskan (al-taharrur), berkemanusiaan (humanity). Akibatnya, segala pemikiran keagamaan harus tunduk dan didasarkan pada semangat dan nilai-nilai agama yang universal.
Kedua, netralitas (pemikiran) agama. Sebuah pemikiran tidak akan lepas dan senantiasa terikat dengan konteks sosial-budaya disekitarnya. Pemikiran muncul dari rahim sejarahnya (gestalt) dan memiliki epistime tersendiri. Begitu pula dengan (pemikiran) agama. Hukum-hukum fiqih, ajaran-ajaran tasawuf, aqidah adalah hasil konklusi dari realitas sosial dengan subyektifitas penafsiran seseorang.
Ajaran-ajaran tasawuf al-Ghazali—misalnya—tentu memiliki target-tagret politis, sosial tertentu. Ia muncul tidak semata-mata karena upaya mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila allah), tetapi ia juga dikonstruksi oleh pelbagai varian eksternal.
Bahkan, dalam analisa Michel. Foucault, ada relasi kuasa kuasa dengan pengetahuan. Lebih jauh, Foucault melalui L’archeologie du savoir (Archeology of Knowladge) mengatakan bahwa sejarah selama ini adalah sejarah yang terdistorsi; bukan sejarah bahasa dan makna, tapi sejarah relasi kuasa.
Karena itulah, tidak ada pemikiran agama yang otentik. Dengan nada kritis, Adonis (1978) menulis “Apakah keotentikan itu? Bagaimana kita mendefinisikan sesuatu yang otentik? Bagaimana hubungannya dengan masa lalu, sekarang dan akan datang, bagaimana menafsirkannya? Mengapa bangsa Arab harus mengalami kemunduran dan stagnasi yang begitu pahit? Apakah masalahnya cuma disintegrasi politik atau pengaruh asing? Bagaimana kita menafsirkan dan memahami hubungan antara bangsa, agama dan politik”.