Kemudian yang tidak kala menariknya, adalah pandangan Asghar Ali Engineer, seorang pemikir Muslim progresif sekaligus feminis asal India, yang menyatakan, bahwa mengakarnya budaya patriarki tidak lain dikarenakan adanya kekeliruan dalam memahami teks agama. Padahal, menurutnya, Al-Quran dengan tegas dan lugas memberikan kedudukan yang cukup mulia baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Artinya, status sosial seorang perempuan sama dengan status sosial kaum laki-laki. Yang membedakan adalah tingkat ketakwaan mereka kepada Allah.
Masih menurut Engineer, pada hakikatnya manusia (baik laki-laki maupun perempuan) adalah makhluk yang mempunyai kebebasan sendiri, makhluk yang cerdas, serta cenderung pada kesetaraan dan keadilan. Karenanya, secara alamiah manusia akan melawan segala bentuk penindasan yang dapat mengancam serta merendahkan harkat dan martabat kemanusiaannya. Begitu pula dalam hal budaya patriarki. Seorang perempuan akan memperjuangkan hak-hak mereka untuk memperoleh kesetaraan.
Lebih jauh lagi, Riffat Hassan, seorang pemikir feminis dan sarjana kajian Islam asal Pakistan, juga menelurkan gagasannya ihwal mengakarnya budaya patriarki hingga kiwari di tengah masyarakat. Menarik, Riffat Hassan menyodorkan argumen yang cukup menukik sekaligus sebagai kritik atas cara pandang sebagian para cendekiawan Muslim tentang inferioritas kaum perempuan dan superioritas kaum laki-laki, sebagaimana termaktub dalam Surat al-Nisa’ ayat 34.
Menurut Riffat Hassan, apa yang telah terjadi selama bertahun-tahun pada perempuan perihal ketidaksederajatannya dengan laki-laki, berasal dari tiga asumsi dasar teologis: Pertama, argumen bahwa ciptaan utama Tuhan adalah laki-laki, bukan perempuan, karena perempuan dipercayai atau diyakini diciptakan dari tulang rusuk laki-laki dan oleh karena itu bersifat derivatif, juga secara ontologis bersifat sekunder.
Kedua, bahwa perempuan, bukan laki-laki, adalah agen utama apa yang biasanya dilukiskan sebagai “Kejatuhan Manusia” atau pengusiran manusia dari Taman Eden (surga) dan oleh karena itu, semua “anak Hawa” kerap kali dijatuhi kebencian, kecurigaan, diskriminasi, dan kehinaan. Dan ketiga, bahwa perempuan bukan hanya diciptakan dari laki-laki, namun juga untuk laki-laki, yang membuat eksistensinya bersifat instrumental dan bukan penting secara fundamental.
Bagi Riffat Hassan, argumen yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam), padahal kenyataannya hanyalah mitos belaka yang berasal dari cerita Yahwis tentang penciptaan dalam (Kitab) Kejadian 2: 18-24, dan mitos ini tidak punya dasar apapun dalam Al-Quran, yang dalam konteks penciptaan manusia selalu memaparkannya dengan cara egaliter. Bahkan, dalam tiga puluh atau sekian bagian dalam Al-Quran, tidak ada pernyataan yang bisa ditafsirkan untuk menegaskan atau mengesankan bahwa laki-laki diciptakan sebelum perempuan, atau bahwa perempuan diciptakan dari laki-laki.
Walau begitu, lanjut Riffat Hassan, kebanyakan umat Muslim mengamini anggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Lantas, bagaimana pemahaman yang keliru ini bisa masuk di kalangan orang-orang Muslim padahal mereka mungkin tidak pernah membaca Kitab Kejadian? Ternyata dalam beberapa hadis perempuan disebut diciptakan dari “tulang rusuk” laki-laki dengan berbagai macam cara: sebagai tulang rusuk laki-laki, bagaikan sebuah tulang rusuk laki-laki, dan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Ada enam hadis, tiga dari Shahih al-Bukhari, dan tiga dari Shahih Muslim, yang kesemuanya adalah hadis-hadis yang dianggap berasal dari Abu Hurairah, yang menggambarkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
Perlunya Penafsiran Ulang Teks Agama
Dari sini, jelaslah bahwa pandangan yang menganggap bahwa status sosial atau kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki, adalah keliru. Juga bertolak belakang dengan semangat dan fungsi agama (Islam), yakni petunjuk bagi umat manusia serta penopang dalam menegakkan kemaslahatan bagi umatnya. Dan karena itulah, diperlukan suatu interpretasi atau penafsiran ulang tentang dalil-dalil yang bias gender sebagaimana disebutkan di atas.
Buya Hamka misalnya, menyatakan bahwa Surat al-Nisa’ ayat 34 tersebut secara tekstual memang menjelaskan atas kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan. Akan tetapi di dalamnya terdapat hak dan kewajiban yang setara untuk kaum laki-laki dan perempuan. Namun, jika keadaan memerlukan perempuan untuk diangkat menjadi pemimpin, dan ia sanggup serta mampu menjalankan perannya menjadi pemimpin, maka menurut Hamka hal ihwal sangat diperbolehkan bahkan niscaya dilakukan.