Salah satu rukun Islam yang diwajibkan bagi setiap umat muslim adalah zakat. Eksistensi zakat dapat dikatakan sangatlah penting dalam Islam, di samping memang ada perintah dari Allah SWT, kita juga perlu memahami kembali bahwa zakat merupakan ibadah yang tidak hanya berhenti pada nilai hubungan vertikal antara hamba dengan Allah semata, akan tetapi zakat juga memiliki nilai sosial kemanusiaan yang dapat menjadikan kehidupan terlihat harmonis.
Di samping para Aghniyâ’ akan memperoleh kepuasan batin karena dapat menolong sesama muslim yang notabene kurang mampu, yang kurang mampu dapat memanfaatkan harta zakat yang diterima dari orang mampu yang telah mengeluarkan zakatnya. Dengan adanya zakat harapannya kebutuhan umat kurang mampu dapat terimplementasi.
Zakat akan berjalan dengan baik, efektif, dan tepat sasaran apabila harta zakat dikelola dengan manajemen yang baik pula, lebih-lebih pada era digital sekarang ini, dapat memudahkan para muzakki untuk membayarkan zakat. Jejak sejarah telah merekam bahwa penerapan program zakat yang telah dilaksanakan oleh lembaga-lembaga zakat atau dilakukan oleh para sahabat Nabi memang betul-betul dapat berdampak positif, mampu mengentaskan kemiskinan, membantu para dlu’afâ’, bahkan diceritakan pada era pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz sampai tidak ada kaum yang berhak menerima zakat, karena saat itu seluruh penduduknya sudah terbilang kaya.
Tulisan di atas merupakan prolog dari penulis untuk memulai topik utama yang akan penulis bahas pada paragraf ini, yakni mengenai transformasi zakat perspektif KH. Maimoen Zubair di era kontemporer saat ini. Dalam kitab karya beliau yang berjudul al-Ulamâ al-Mujaddidûn penulis mendapati pembahasan mengenai zakat yang penulis kira menarik untuk diangkat dalam artikel ini. Tidak perlu panjang lebar, penulis disini akan mengangkat persoalan “apakah mata uang kertas saat ini perlu di zakati seperti layaknya emas dan perak di era dulu yang sama-sama dijadikan sebagai standar dalam transaksi?”.
Pada dasarnya emas dan perak (yang dulunya merupakan mata uang logam) adalah termasuk benda yang wajib di zakati kalau sudah memenuhi satu nishab, baik kedua benda tersebut telah dicetak menjadi logam ataupun belum dicetak (masih berupa lantakan). Namun yang menjadi pertanyaan saat ini, sudah bukan lagi eranya emas dan perak dijadikan sebagai mata uang, melainkan sudah berevolusi pada mata uang kertas.