Konsepsi yang pernah digaungkan oleh Rasyid Ridha maupun Jamaludin al-Afghan tentang Pan-Islamisme menjadi latar yang ada di belakang akan sebuah pengaplikasian gerakan Islam kontemporer. Namun, rasa yang belum pernah hadir dalam nuansa yang demokrasi dan makna asosiasi seperti apa yang ingin daripada Ridha dan Afghan dalam sebuah seruan Pan-Islamisme. Pada irisan fundamentalnya memang jelas dan bagus, bahwa Pan-Islamisme bertujuan untuk menyatukan suara Islam dari seluruh dunia untuk bisa bangkit bersama dalam menghadapi sebuah penetrasi Barat dan kekuasaan Turki Utsmani yang semakin tidak jelas dan menyimpang dari Islam.
Namun, rasa Pan-Islamisme ini dalam sebuah pandangan hemat penulis bahwa tujuan ini tidak akan bisa membawa sebuah dampak dan suara yang memberikan kemerdekaan yang manusiawi. Ini ada sebuah latar belakang yang bernafaskan politik dalam tujuan sebuah pemikiran Pan-Islamisme tersebut. yang pada akhirnya nanti pelabuhan akhirnya ialah negara Islam dengan sistem khilafah, yang menjadi panutan satu di antara ribuan dan miliyaran umat Islam di muka bumi ini. pertanyaannya? Apakah semua umat Islam mempunyai tujuan dan pemikiran sama dalam politik Pan-Islamisme? Apakah setuju dan mau mentaati hanya dengan satu pemimpin Islam dengan memimpin seluruh umat Islam di dunia? Padahal konsensus Islam memberikan sebuah sistem demokraasi yang bebas, senyampang tidak bertentangan dengan Islam dan bisa memberikan sebuah harum akan kemaslahatan bersama umat dan bangsa.
Pan-Islamisme sebenarnya menjadi sebuah bentuk solidaritas bersama umat Islam di seluruh penjuru dunia atau persaudaraan sesama umat Islam sedunia (Al-Jamiah al Islamiyah). Namun, alasan untuk tidak menjadikan Pan-Islamisme menjadi representasi dalam mendirikan persatuan yang bernafaskan politik Islam ialah sebuah perpecahan umat dan bangsa sebuah negara. Gagasan ini menjadi rumus dalam membangun sebuah peradaban Islam yang maju dan visioner. Namun, solidaritas ini mengkhawatirkan akan terjadi konflik saudara dalam sebuah negeri, karena tidak samanya sebuah persepsi dalam membangun negeri, termasuk Indonesia dengan multikulturalistiknya dan pluralistiknya negeri zamrud tersebut.
Masykuri melaporkan muncul sejumlah dilema bagi umat Islam yang tidak mudah dipecahkan, yakni antara komitmen kepada cita-cita Islam secara utuh dengan komitmen kepada kemodernan dan kemanusiaan secara umum. Memang, dalam banyak hal terdapat kesamaan antara cita-cita Islam dengan sistem modern yang berasal dari Barat, karena masing-masing juga memiliki ide-ide dan nilai-nilai yang bersifat universal. Namun, karena filosofi di antara keduanya berbeda, yang sering muncul kepermukaan justru perbedaan-perbedaan antara keduanya, sehingga dalam beberapa hal yang fundamental kadang-kadang cukup dilematis untuk menggabungkan keduanya dalam negara modern. Dilema itu menjadi lebih kuat, ketika kekuatan politik sekuler cukup dominan dalam kehidupan politik di sebuah negara Muslim. Umat Islam yang committed pun berikhtiar agar aspirasi dan kepentingan mereka terpenuhi baik dalam bentuk akomodasi ajaran Islam dalam pengambilan kebijakan publik maupun dalam bentuk perolehan kekuasaan politik sebagai alat untuk melakukan akomodasi ajaran Islam tersebut. (Abdillah, 2011, hal. 101-102).
Makna politik Islam ini akan juga dibawa pada sebuah ranah dalam negara Islam dan pembentukannya. Ini menjadi sebuah polemik dan perdebatan tersendiri, terutama ketika masa Nabi Saw dan setelahnya sekitar abad pertengahan. Penandaaan ini menjadi sebuah catatan bahwa politik memainkan sebuah hajatan selanjutnya dan menjadi rujukan selanjutnya sebagai teropong dan pijakan dalam pendirian sebuah negara. Nah, ini problema yang kemudian sebenarnya harus diulas mengenai bahwa Rasulullah Saw tidak pernah mendirikan dan memerintahkan untuk mendirikan sebuah negara berdasarkan Islam atau mendirikan negara Islam. Namun, ada sebuah sisi makna secara teoritisi tentang maksud bahwa Rasulullah mendirikan negara Islam.
Asghar melaporkan bahwa semua keputusan yang diambil oleh Rasulullah Saw tidak sepenuhnya didasarkan pada perintah ilahi. Dalam memutuskan perkara-perkara penting Rasulullah Saw acapkali mempertimbangkan tradisi dan aspirasi masyarakat Arab. Bila kita mengamati dengan seksama sumber-sumber awal sejarah Islam, tidak terlampau menyimpang jika kita berpendapat bahwa Muhammad Saw hanya dapat membuat putusan resmi berdasarkan dukungan, persetujuan serta tuntutan masyarakat. Seperti kita ketahui bersama, Rasulullah Saw adalah juru runding yang ulung untuk segala urusan dan perselisihan yang terjadi di dalam masyarakat.
Namun, sepertinya beliau hanya dimintai bantuannya untuk persoalan yang sangat penting atau sulit untuk dipecahkan. Disini bahwa yang berlaku dalam keadaan yang ada kala itu ialah sistem tradisi Arab kuno; sebuah tradisi yang tidak memiliki hukum tertulis, kekuasaan negara, pertimbangan kelompok etnik atau individu yang menjadi penguasa. Dari uraian tersebut bahwa negara Islam tidak dapat ditafsirkan sebagai negara yang benar-benar Islami. Rasulullah Saw hanya mewarisi struktur kenegaraan yang sangat sederhana yang lebih didasarkan kepada tradisi-tradisi lokal dan ethos masyarakat Arab selama hidup beliau. (Engineer, 2000, hal. 58).
Kejelasan sudah disampaikan oleh Asghar bahwa membentuk negara Islam itu bukan sebuah konsekuensi yang harus. Rasulullah aja masih merunding dengan beberapa kelompok masyarakat dan tradisi setempat kala itu untuk memutuskan sebuah kesepakatan bersama, semua itu demi kemaslahatan bersama untuk umat. Chalik melaporkan bahwa studi politik dalam Islam dimulai dari perdebatan perlu tidaknya mendirikan negara sebagai konsekuensi alamiah bahwa manusia memerlukan perlindungan, kesejahteraan dan tempat untuk menuangkan gagasan dalam rangka memperbaiki hidupnya.
Perdebatan di kalangan sarjana Muslim mengemukakan setelah melihat proses kesejarahan Islam dari Nabi Saw hingga khulafa al-rasyidin yang sulit untuk membedakan antara masalah keduniaan dan masalah keakhiratan. Pakar politik Islam dan pemikir Islam yakni Al-Mawardi mengemukakan bahwa pendirian pemerintahan (imamah) yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga nilai-nilai agama dan dunia merupakan suatu kewajiban. Apabila masyarakat dipandang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas sebagai imam, maka diwajibkan bagi mereka untuk mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.
Sebuah pandangan dari al-Mawardi yang kemudian banyak diperbincangkan ialah tentang syarat untuk menjadi (imamah) ialah harus berasal dari suku Quraisy didasarkan kepada suatu hadits yang sangat populer di kalangan Muslim “al-aimmah min Quraisy”, yang secara dhohir hadits tersebut memberi batasan kepada suku Quraisy untuk menjadi pemimpin. Muhammad Imarah mengomentari hadits “al-aimmah min Quraisy”, disebut dengan hadits. Salah satu alasan Imarah adalah, bahwa pada masa Ali bin Abi Thalib kelompok Khawarij mengangkat Abdullah bin Wahab al-Rasidi pada 10 syawal tahun 37 H sebagai pemimpin (amir). Padahal dia bukan dari suku Quraisy, melainkan dari suku Azad. Peristiwa pengangkatan pemimpin selain dari suku Quraisy merupakan yang pertama setelah wafatnya Rasulullah Saw. menurut Imarah, secara logika kalau benar “al-aimmah min Quraisy” disebut hadits, maka tidak mungkin golongan Khawarij akan mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan ketentuan Nabi Saw, karena Khawarij dikenal sebagai golongan yang kukuh dalam mempertahankan sunnah Nabi Saw. (Chalik, 2017, hal. 46-47).
Uraian politik Islam juga bisa dilihat dalam kubangan sejarah ketika masa Rasulullah Saw hijrah dari Makkan ke Madinah. Dengan menetap di Madinah atau kala itu bernama kota Yastrib, Rasulullah Saw melihat ragamnya sebuah kehidupan masyarakat pedesaan Madinah, atau sering dikenal dengan sebutan masyarakat Madani—sebuah makna akan penyandaran kehidupan masyarakat desa yang beragam, mandiri kaum Madinah. Politik Islam juga diperankan kala itu dalam kubangan dalam penciptaan sebuah konstitusi besar di dunia yakni pembuatan Piagam Madinah. Dalam pembuatnnya, banyak kesepakatan yang diambil dari beberapa pihak agama yang bernaung di Madinah, agar memberikan sebuah suara janji untuk hidup bersama dalam keberagaman agama di kota Madinah.
Dari situlah kemudian Madinah juga ikut berkembang dengan berdirilah Madinah sebagai negara dengan dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw sekaligus pelaku legislator, ekskutor dan yudikator. Piagam Madinah merupakan sebuah kesepakatan bersama dari berbagai pihak agama di Madinah, antara lain komunitas Muslim, Yahudi dan Komunitas Arab non-Muslim. Makna sebuah konsensus bersama yang sudah disepakati dan kemudian lahirlah Piagam Madinah. Namun, oleh Bani Nadhir dan Bani Quraizhah Piagam Madinah telah di langgar, sehingga kemudian ada peperangan antara Rasulullah Saw melawan Bani Nadhir dan Bani Quraizhah. Nah, ini bisa diinterpretasikan sebuah makna tentang politikisasi dalam Islam yang kemudian dapat penghianatan.
Pendirian dalam sebuah negara, termasuk Madinah yang akan menjadi sebuah negara Islam dibawah pimpinan Rasulullah Saw menggunakan Piagam Madinah tersebut sebagai proklamasi bersama. Tentu dalam pelaksanaannya tugas dan fungsi kenegaraan, merealisasikan pemerintahan dan melakukan tata kelola negara dengan baik dan benar. Nabi Muhammad Saw memerlukan perangkat konstitusi yang disebut Konstitusi Madinah itu. Dalam pandangan W.M. Watt bahwa Rasulullah Saw itu adalah nabi dan negarawan. Seorang orientalis tersebut juga menerangkan bahwa ada sebuah kebenaran dalam menuliskan tentang Nabi Muhammad Saw selain membawa dan menyiarkan agama Islam, beliau juga memimpin umat, memimpin negara, mengurusi politik dan pemerintahan, serta memimpin langsung peperangan di banyak medan perang. (Ismail, 2017, hal. 165-166).
Soal bentuk negara (kesatuan atau federal) dan sistem pemerintahan (khilafah, emirat, kesultanan, kerajaan, parlementer, presidensial), Islam menyerahkan itu semua kepada umat Muslim yang bersangkutan untuk memikirkan dan menentukannya. Yang paling penting, negara itu didirikan berdasarkan Islam dan tata pemerintahannya harus benar dan adil, menjunjung tinggi asas-asas hukum, HAM dan demokrasi yang menjadi saripati dan inti ajaran Islam dalam bernegara. Ketika dilihat dari sebuah perspektif hukum tata negara, isi Piagam Madinah bersifat komprehensif dan memiliki cakupan yang luas.
Sebagai suatu kesepakatan, piagam ini mengikat semua penduduk atau warga Madinah untuk secara bersama-sama mematuhi dan melaksanakannya dalam hidup bermasyarakat, berpemerintahan dan bernegara. Ide penting perjanjian ini adalah untuk membangun dan membina kerukunan, perdamaian, kedamaian, dan kebersamaan. Nabi Muhammad Saw memaksudkan perjanjian ini sebagai bentuk perjanjian untuk menciptakan toleransi antargolongan di dalam masyarakat Madinah, yaitu komunitas Muslim, komunitas Yahudi, dan komunitas Arab non-Muslim.
Konsepsi yang kemudian dibangun dalam politik Islam ialah peran yang kemudian bisa memberikan maslahat untuk semua umat/bangsa. Perjalanan sejarah Piagam Madinah, ternyata juga dihianati oleh komunitas yang sudah menyepakati dalan perjanjian tersebut, yakni kaum Yahudi. Yang kemudian Rasulullah Saw menumpasnya dalam sebuah peperangan terhadap penghianatan Bani Nadhir dan Bani Quraizhah terhadap sebuah perjanjian yang telah dibuat untuk konsensus bersama membangun Madinah yang toleransi.