Membaca pemikiran pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia, tentu tidak bisa lepas dari telaah historis dinamika perjuangan yang semula merupakan politik Islam yang digunakan untuk merespon hegemoni Barat. Masselman mencatat, dimulai dari Mataram, Sultan Agung (1613-1644) sebagai ulama cum-raja yang memproklamirkan untuk tidak berdagang dengan VOC karena dianggap sebagai bentuk kekuatan raksasa kafir yang mengancam eksistensi perdagangan penting di Nusantara. Karena misinya itu, sebagaimana yang dikutip oleh Burhanuddin, Sultan Agung sangat berambisi untuk menguasai pesisir Jawa.
Misi yang sama juga terjadi pada kerajaan-kerajaan Islam, baik di Aceh, Gowa, dan Banten. Meskipun pada akhirnya sama-sama ditaklukkan oleh VOC. Di Gowa, Sultan Hasanuddin pada tahun 1669 berhasil dikalahkan yang berimbas pada penghancuran pusat ekonomi dan politik Islam di Timur Nusantara, (Ricklefs, 2001: 77-79).
Begitu juga di Banten yang semula berada di bawah kepemimpinan Islam yang taat, yaitu Sultan Abdul Fatah Ageng (1651-1682), yang dikenal sangat gigih menerapkan hukum Islam, seperti melarang keras menggunakan opium dan minuman alkohol, kemudian menjadi proklamator gerakan anti kafir untuk melawan VOC. Namun karena terjadi krisis internal di Banten saat itu, mengakibatkan Banten harus jatuh di bawah kekuasaan Belanda, (Burhanuddin, 2017:225).
Baik di Jawa, Aceh, Gowa dan Banten, bisa jadi sama dalam memainkan peran islamisasi melalui kekuasaan. Raja sebagai simbol penguasa sekaligus ulama. Sebagaimana dikutip oleh Burhanuddin, dalam Hikayat Pocut Muhammad telah dikatakan bahwa politik dan agama sebagai “dua permata dalam satu cincin.” Ini mirip dengan ungkapan Abu Hamid al-Ghazali, ad-Dinu wal mulku taumani. Faddinu ashlun, wal mulku harisun. Wa ma la ashla lahu famahdumun. Wa ma la harisa lahu fadlai’un. (Agama dan kekuasaan itu adalah saudara kembar. Agama merupakan pondasi sedangkan kekuasaan merupakan pasukan. Apapun tanpa pondasi pasti akan roboh. Begitu pula apa saja tanpa pasukan akan sia-sia).
Kembali pada persoalan. Jatuhnya kerajaan-kerajaan maritim di Jawa menyebabkan munculnya bentuk baru dalam kehidupan ekonomi, yang menjadi dasar bagi pembentukan corak keagamaan yang juga baru di Nusantara. Bentuk baru tersebut juga diikuti dengan beralihnya peranan ulama dari pejabat kerajaan, menjadi guru agama di Pesantren, Surau, atau Dayah. Namun dengan pesantren inilah, ulama bisa memiliki peran lebih kompleks di masyarakat sebagai palang budaya (cultural broker) kehidupan sosial dan keagamaan umat Islam, (Geertz, 1960:228-249).
Contoh yang sering disampaikan, Pesantren Tegalsari di Madiun, Ponorogo sebagai pesantren pertama yang memainkan peran penting dalam pengembangan ilmu agama. Sekaligus sebagai sempalan dari kerajaan yang menjadi tempat pengajaran Islam oleh elite politik dari keluarga kerajaan, seperti Raden Ngabehi Raggawarsita (1802-1874).