Dalam diri setiap orang terdapat penyakit hati seperti dengki, iri hati, putus asa, cemburu, angkuh, dan rakus yang sulit dihilangkan kecuali melalui berbagai latihan-latihan. Memperbanyak zikir, ibadah sunnah, zuhud, dan latihan melawan hawa nafsu merupakan pelbagai cara untuk menjaga keseimbangan kekuatan itu dalam diri setiap orang. Menurut pandangan sufisme bahwa penyakit ini hanya dapat dihilangkan melalui praktik-praktik tasawuf yang merupakan solusi utama dalam mengontrol kegiatan bathiniyah dan ruhaniyah.
Di era, Rasulullah Saw dan para sahabatnya perilaku sufi sudah bisa dicalak meskipun belum menjadi pembahasan dan term tersendiri karena pola dan perilaku hidup beragama sepenuhnya masih bertumpuh pada praktik hidup Rasulullah Saw sebagai uswatun hasanah. Namun, bukan berarti pelaksanaan pola hidup sufisme tidak ada di masa nabi. Justru Nabi dan sahabat-sahabatnya sebenarnya telah menjalankan praktik sufisme ini seperti Abu Zar Algaffarin (W32) Salman Alfarisi(W33H), dan Albarra bin Malik (W20H) dan para tabiin seperti Ibrahim bin Adham (W 161H), Ma’ruf Alkurhi (W200H), Rabiah Al Adawaiyah (W185H), Daud bin Nasser (W165H) dan Fudael bin Iyad (W189), mereka itu lebih dikenal sebagai orang-orang menjalankan zuhud,ridha dan tawakal.
Di Madinah dan Mekkah sejak ekspansi Islam ke jazirah Arab, para sahabat cenderung menekuni hidup zuhud dan menghindari hiruk pikuk politik dan membentuk pengajian-pengajian zuhud, wara, mahaba yang dibimbing oleh sahabat-sahabat nabi itu. Pola dan praktek ini kemudian menjadi cikal bakal di kemudian hari sebaga intisari ajaran dan laku sufisme.
Sebenarnya apabila ditelaah lebih jauh, sikap sufisme tersebut diinspirasi dari ayat-ayat Alquran yang menjelaskan bagaimana sebaiknya manusia menghadapi kehidupan di dunia yang fana ini yang sarat dengan kepalsuan dan sandiwara dan bagaimana gambaran perih di akhirat bagi mereka yang mengejar duniawi dan mengikuti hawa nafsunya. Dalam al-Qur’an, misalnya, bisa dilacak dalam beberapa ayat seperti QS Al Imran ayat 14, QS Alhadid ayat 20, QS Annaziat Ayat 39-41 dan QS Alqiyamah ayat 22. Ayat-ayat ini kemudian menjadi landasan yuridis bagi pengikut sufisme atas originalitas ajaran tasauf dalam Islam.
Pengertian Tasawuf
Menurut Al Imam Aljunaedi (298H) tasawuf adalah “meninggalkan berbagai bentuk akhlak yang hina dan menjalankan segala bentuk akhlaq yang terpuji. Sementara Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam bukunya Syarhu Madarijul Salikin menjelaskan bahwa tasawuf adalah sebuah pengetahuan yang didasarkan pada gerakan iradah/kehendak yang menjadi pusat kendali gerakan hati. Ia juga menyebutnya sebagai ilmu bathiniyah.
Adapun Maruf Alkurhi (Wafat 200H) menjelaskan bahwa tasawuf adalah mengambil hakekat dan mengabaikan apa yang ada pada manusia. Pengertian Al-Kurhi mengandung dua sisi. Pertama, merujuk kepada karakteristik hakekat ma’rifah dalam sufisme yaitu bagaimana mengetahui hahekat sesuatu dan esensinya dan tidak terbatas pada tampak zhahirnya saja. Kedua; merujuk pada posisi zuhud itu sendiri, yaitu bagaimana meninggalkan apa yang menjadi ambisi manusia seperti harta, kekayaan dan kedudukan.
Pandangan Alkurhi sejalan dengan pandangan Zunnun Al-Misry, seorang sufi dari Mesir (W245H) yang mengatakan bahwa sufi ialah jika berbicara maka pembicaraannya menjelaskan tentang hakekat. Dan jika ia diam maka diamnya memutus seluruh anggota tubuhnya dari hal-hal yang merusak.
Baca juga :
- Pandangan Islam Tentang (Umat) Agama Lain – Perspektif Normatif
- Kisah Kelam Kekerasan dan Teror dalam Sejarah Agama Samawi
Senadan dengan itu, Amru bin Osman Almakki (W291) mengatakan bahwa tasawuf adalah kesibukan seorang hamba setiap waktu yang paling utama. Sementara Ahmad Al-Jariri (W304) mengatakan bahwa tasawuf adalah kontrol terhadap kondisi diri dan konsistensi terhadap adab-adab. Dan bagi Abu Bakr Assibly (W247) tasawuf adalah bagaimana mengontrol indra dan memperhatikan setiap nafas.
Dari beberapa pengertian dapat disimpulkan bahwa tasawuf pada intinya adalah sebuah jalan yang mengutamakan kebersihan jiwa dan hati dari berbagai hal-hal keduniaan yang sering kali menjadi sumber malapetaka untuk menuju hakekat manusia itu sendiri dan Tuhannya. Pengertian-pengertian ini juga lebih dipopulerkan oleh pengagum-pengagum sufisme yang muncul pada abad-abad kedua hijriyah di mana tasawuf sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat muslim kala itu.
Menurut Abu A’la Alafifi dalam bukunya Attasauf Tsauratl Ruhiyaton fil Islam menuturkan bahwa pada periode Basrah tasawuf mengalami proses baru yang cenderung larut dalam peribadatan dan pensucian diri melalui berbagai latihan dan cara menuju pensucian jiwa termasuk mengamati penyakit-penyakit yang bersemayang dalam diri seseorang kemudian menganalisanya dan mengobatinya. Pada periode ini, tasawuf menitikberatkan pada perilaku akhlak dan nilai-nilai ibadah yang menjadi kebutuhan bathin yang dalam.
Kedudukan Tasawuf dalam Islam
Terdapat silang pendapat di antara para ulama mengenai asal-usul tasawuf. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf bersumber dari ajaran-ajaran asing seperti Nasrani, Hindu dan filsafat neo platonisme. Pandangan ini karena melihat karakteristik tasawuf dan pola serta metoda yang digunakan memiliki kemiripan dengan praktik-praktik yang ada di beberapa agama khususnya konsep ar-ruhbaniyah dalam agama Nasrani, Hindu dan Budha yang fokus beribadah dan melayani agamanya untuk mencapai sebuah posisi dalam struktur agama itu.