Pertanyaannya, apakah mata uang selain dinar dan dirham yang tidak ada di zaman Nabi Saw. tidak bisa disebut “Islam” dan haram digunakan oleh masyarakat Muslim? Pada dasarnya, dinar dan dirham tidak termasuk dalam sunnah yang harus atau dianjurkan setiap saat. Nabi Saw. tidak pernah mempersoalkan umatnya menggunakan uang dalam jenis dan bentuk apapun.
Di dalam kitab “al-Tamhîd” Ibn Abdil Barr berkata, “Dinar di era pra-Islam, di masa awal Islam di Syam, dan di kalangan bangsa Arab di Hijaz, semuanya adalah uang Romawi dan dicetak di negeri-negeri Romawi; di atasnya ada gambar raja, namanya tertulis dalam bahasa Romawi … dirham di Irak dan di seluruh tanah Timur, semuanya adalah uang Persia, di atasnya ada gambar kisra (raja), namanya tertulis dalam bahasa Persia.”
Tanggapan Ibnu Taimiyah
Sementara itu, Ibn Taimiyah, di dalam kitab “Majmû’ al-Fatâwâ”, berkata, “Terkait dirham dan dinar, manusia berpijak pada adat/kebiasaan mereka. Sesuatu yang mereka beri istilah dan mereka jadikan sebagai dirham, maka itulah dirham, dan sesuatu yang mereka beri istilah dan mereka jadikan dinar, maka itulah dinar.”
Ia juga berkata, “Dirham dan dinar bukanlah tujuan, melainkan alat untuk bermuamalah, yang mempunyai nilai sebagai harga bagi barang-barang lainnya, yang dapat dimanfaatkan [dalam pertukaran], dan kadarnya disesuaikan dengan kebiasaan dan legalitas [masyarakat setempat]. Sebagai alat, baik materi maupun bentuknya, tidak berhubungan dengan tujuan.”
Pandangan Islam tentang Uang
Uang, apapun jenis dan bentuknya, terkait kebiasaan masyarakat dengan istilah-istilah yang mereka gunakan untuk itu, yang berbeda-beda berdasarkan waktu dan tempat. Oleh karena itu, melakukan aktivitas jual-beli dan perniagaan dengan memanfaatkan mata uang selain dinar dan dirham seperti yang umum terjadi di dunia saat ini tidak dilarang oleh agama.
Bahkan, umat Muslim di suatu negara yang telah mempunyai mata uang sendiri dengan nilai yang disepakati bersama, harus tunduk pada kesepakatan itu. Dalam hadits Qudsi Allah Swt. berfirman, “Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang saling bekerjasama selagi tidak ada salah satu di antara kedua pihak itu yang mengkhianati pihak lainnya. Jika terjadi pengkhiatan sedemikian rupa, maka Aku lepas dari keduanya,” [HR. Abu Dawud].
Hadits ini menyiratkan makna bahwa tunduk pada kesepakatan yang dibangun bersama masuk dalam kategori tunduk kepada syariat, dan pelanggaran terhadap kesepakatan itu dipandang sebagai pelanggaran terhadap syariat. Seperti ditegaskan di dalam hadits lain, “Umat Muslim senantiasa tunduk pada perjanjian yang dibangunnya kecuali perjanjian mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram,” [HR. al-Bukhari, Muslim, dan al-Tirmidzi].
Sebagai kesimpulan, mata uang rupiah termasuk dalam kategori mata uang Islam, yaitu mata uang yang digunakan oleh masyarakat Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim. Dan, seperti yang kita ketahui, hukum pemerintahan yang berlaku di Indonesia sesuai atau tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sehingga, siapapun yang menggunakan mata uang selain rupiah tanpa legalitas dari negara, dapat dianggap sebagai pengkhianat bangsa.[]
*) Wakil Ketua LBM PWNU DKI Jakarta