Islamina.id – Bagi agamawan dan sudah menjadi kepercayaan banyak manusia bahwa agama adalah jalur sah yang harus ditempuh manusia untuk menuju Tuhan. Tanpa itu, manusia tidak akan pernah sampai, bersua dengan Tuhan (liqaillah).
Karena itulah, antara Tuhan dan agama tidak bisa dipisahkan. Bagi mereka, agama adalah Tuhan dan sebaliknya, Tuhan adalah agama. Tak ada agama yang tak memiliki Tuhan. Tapi, adakah Tuhan yang tidak memiliki agama ?
Kepercayaan diatas sudah lama tertanam dalam diri manusia. Ketika bayi hadir kedunia, ia harus diperdengarkan dan diperkenalkan tentang kalimat Tuhan dengan adzan¸iqomat dan sebagainya.
Begitupula setelah besar, ia terus mendapat pengarahan dari kedua orang tuanya untuk pergi ketempat ibadah, menunaikan ritual-ritual formal yang merekapun belum tentu memahami maknanya. Mereka hanya melaksanakan perintah orang tuanya, tanpa disertai kesadaran bahwa Tuhan adalah kebutuhan primer.
Baca juga: Ini Alasan Utama Setiap Anak Berhak Menerima Pelajaran Agama
Baru setelah menginjak dewasa, ketika bisa berifikir secara jernih dan mandiri, ia bisa menentukan apakah akan tetap melaksanakan tuntutan yang diajarkan orang tuanya atau justru meninggalkan dan mencari jalan lain untuk mendekati Tuhan.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, sang anak tidak menyembah Tuhan sebagaimana orang tuanya dan tidak beragama (ateis). Disadari atau tidak, fenomena ini sudah menjadi gejala umum dalam sistem keberagamaan seluruh manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia.
Pertanyannya, benarkah agama sebagai satu-satunya sarana yang sah untuk menuju Tuhan ?. Adakah jalan lain yang bisa menyampaikan manusia kepada Tuhan, selain agama ? Kemudian, bisakah agama dipisahkan dari Tuhan, yakni suatu agama yang sama sekali tidak memiliki ajaran ketuhanan ?. Dan bagaimana ketika agama sudah terpisah dari Tuhan.
Sejumlah pertanyaan diatas terus menggelitik penulis ketika mencermati sistem keberagamaan di Indonesia. Dalam hal ini, sekurang-kurangnya ada dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, agama-agama seringkali bertengkar dan saling memusuhi hanya untuk mempertahankan eksistensi atau hanya sekedar persepsi tentang Tuhan.
Tidak jarang, suatu agama harus membantai agama lain karena dianggap sesat dan bertentangan dengan keyakinan yang dipeluknya. Pandangan outsider, kafir, murtad, musyrik sudah tidak asing dan menjadi legitimasi teologis untuk memusnahkan sesamanya.
Tragedi kemanusiaan di Ambon, Aceh dan daerah lainnya adalah contoh konkrit bahwa manusia berperang mempertaruhkan nyawanya demi tuhan yang disembahnya. Sedemikian agungkah Tuhan sehingga darah, nyawa, harta manusia tidak lagi berharga dihadapanNya?
Pertaruhan manusia untuk menuju Tuhan melalui agama sudah tidak bisa memperhatikan aspek kemanusiaan. Dengan janji keselamatan eskatologis, pemeluk agama membunuh, melakukan aksi teror atas sesamanya dibawah bendera Tuhan.
Kedua, penganut agama sudah terjebak pada ritual-formalistik. Baik Islam, Kristiani ataupun lainnya, seringkali memahami bahwa untuk mencapai ridho Tuhan harus ke Gereja atau Mesjid dengan melaksanakan seperangkat aturan-aturan formal, tanpa berupaya untuk memahami subtansi dan makna dari sebuah ritual tersebut.
Sedangkan penganut agama yang malas pergi ketempat ibadah dipandang sebagai orang yang jauh dari (kasih-sayang) Tuhan. Bagi mereka, jalan satu-satunya untuk mencapai ridho Tuhan adalah tempat ibadah seperti Mesjid, Gereja ataupun lainnya.