Dengan logika ini dapatlah dipahami bahwa Islam bersifat partikular, interpretable, dan mengenal konteks tertentu, tidak berlaku secara universal. Dan, dialektika antara Islam (sebagai teks) dengan budaya lokal adalah keniscayaan. Sehingga untuk memahami Islam tidak cukup hanya dengan membaca lembaran-lembaran kitab suci tanpa berupaya memahami kondisi sosial-budaya-agama setempat.
Kedua, Islam yang kita pahami bukanlah Islam yang sebenarnya. Islam yang ada sekarang ini merupakan hasil interpretasi atau pemahaman manusia yang berbudaya [Islam in mind]. Tidak ada Islam yang autentik, tanpa ada campur tangan manusia. Karena itu, mengklaim salah terhadap hasil interpretasi orang lain adalah tidak benar. Dan, semua interpretasi tentang Islam adalah absah sejauh tidak melenceng dari maqashid al-syariah yang telah digariskan oleh Tuhan.
Bahkan, hukum-hukum Islam produk masa lalu sudah saatnya dibongkar kembali dan kemudian menyusun hukum baru yang lebih kontekstual. Pembongkaran terhadap hukum-hukum atau ajaran-ajaran Islam harus tetap didasarkan pada nilai-nilai kemanuisaan yang universal. Tanpa melakukan penafsrian ulang, tentu Islam akan ketinggalan zaman dan suatu saat hanya akan menjadi kenangan masa lalu, masuk dalam tumpukan sejarah yang usang.
Ketiga, karena Islam adalah agama manusia, maka segala hal dalam Islam juga harus didasarkan kepada manusia. Selama ini, ketika menghadapi sebuah persoalan banyak diantara para ulama kita yang harus membuka teks keagamaan guna menyelesaikan dan terkadang menghakimi siapa yang benar dan salah. Padahal, teks agama bukanlah kompilasi jawaban atas persoalan manusia secara menyeluruh. Ia juga bukanlah kitab moral semata. Akan tetapi, ia adalah kitab landasan hidup dalam menapaki jalan menuju Allah yang bersifat universal dan holistik.
‘Ala kulli hal, Islam akan menjadi agama yang senantiasa relevan sepanjang masa (shalihuin li kulli zamanin wa makanin) manakala ditafsirkan dalam lanskap kemanusiaan, sehingga Islam benar-benar menjadi agama manusia, bukan agama Tuhan yang melangit dan tidak peduli dengan persoalan kemanusiaan. Aspek kemanusiaan dalam Islam harus menjadi landasan dalam merumuskan hukum-hukum atau aturan-aturan Islam. Maka, tidak ada jalan lain selain –meminjam bahasa M. Arkoun–rethingking terhadap Islam secara kontekstual dan membumi sesuai dengan semangat zaman yang berkembang.
@ Wallahu A’lam
Baca Juga: Mengembalikan Makna Agama