Setiap dosa besar, kata Nafi’ ibn al-Azraq, adalah penyimpangan menyeluruh dari Islam, pelakunya akan kekal di neraka bersama orang-orang kafir. Untuk menguatkan pandangannya ini ia menyebutkan kekafiran Iblis, bahwa Iblis tidak melakukan kesalahan apapun selain satu dosa besar yaitu ketika Iblis menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam.
Nafi’ ibn al-Azraq mengatakan bahwa taqîyyah tidak boleh, baik dalam perkataan maupun perbuatan, meskipun itu akan mengakibatkan kebinasaan bagi yang bersangkutan. Ia meniadakan hukuman rajam (hadd al-rajam) bagi pelaku zina muhshan (pelaku zina yang sudah menikah) dengan dalih tidak ada pernyataan tegas (nash) di dalam al-Qur`an. Ia meniadakan hukuman pengusiran (hadd al-qadzaf) bagi laki-laki yang menuduh seseorang melakukan zina muhshan, dan mewajibkan hukuman itu bagi perempuan yang menuduh seseorang melakukan zina muhshan, dengan dalih—menurut klaimnya—apa yang terkandung di dalam al-Qur`an. Ia mewajibkan hukuman potong tangan bagi pencuri tanpa mempertimbangkan kadar barang curiannya (sedikit atau banyak), dan pemotongan itu dilakukan dari pundak. Ia bahkan mewajibkan perempuan haid untuk melaksanakan shalat dan puasa.
Sebagian pengikutnya mengatakan, “[Shalat dan puasa bagi perempuan haid] tidak wajib, tetapi ketika sudah suci maka ia wajib mengganti shalat yang ditinggalkannya sebagaimana mengganti puasa.” Mereka membolehkan melanggar amanah yang Allah perintahkan untuk melaksanakannya. Mereka berkata, “Kaum musyrik (golongan yang tidak sepaham, red.) tidak boleh diserahi amanah.”
Imam al-Baghdadi menggambarkan sekte Azariqah dengan perkataannya, “Di antara sekte-sekte Khawarij yang lain, mereka (sekte Azariqah) adalah yang paling banyak jumlahnya dan paling kuat.” Itulah sebabnya masyarakat menjadi sangat ketakutan, sebab mereka suka melakukan kekacauan di mana-mana tanpa mengenal ketenangan atau kedamaian.
Baca Juga:
Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (6)
[1] Menurut para ahli tafsir, ayat pertama (QS. al-Baqarah: 104) diturunkan untuk al-Akhnas ibn Syuraiq yang menampakkan keislaman secara lahir dan menyembunyikan ketidaksukaannya di dalam batinnya. Dan menurut Ibn Abbas, ayat tersebut diturunkan mengenai sekelompok munafik yang hendak menghancurkan Islam. Sedangkan ayat kedua (QS. al-Baqarah: 209) diturunkan mengenai Shuhaib al-Rumi, di mana ketika ia masuk Islam dan ingin berhijrah ke Madinah dengan membawa hartanya, ia dicegat oleh orang-orang Makkah. Ia lantas membagi-bagikan hartanya kepada mereka supaya ia dibiarkan hijrah ke Madinah.