Q.S. al-Ankabut: 28 – 34 menyebut perilaku kaum Nabi Luth dengan tiga ungkapan, yaitu fâhisyah, sayyi`ah, dan khabîtsah yang berarti sesuatu yang keji, kotor, dan menjijikkan. Dan atas perilaku itu mereka dinyatakan sebagai kaum yang mujrimîn (berdosa), ‘âdûn-musrifûn (melampaui batas), fâsiqûn (fasik), tajhalûn (bodoh), dan mufsidûn (berbuat kerusakan). Dan atas perilaku itu Allah Swt. menghukum mereka dengan beberapa jenis hukuman, yaitu suara menggelegar (shâ’iqah), hujan batu, dan terbaliknya bumi yang mereka pijak. Larangan disertai ancaman ini menegaskan bahwa al-nahyu (larangan) dalam konteks ini adalah li al-tahrîm (pengharaman).
Azab yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth as., menurut sebagian besar mufassir, bukan karena faktor tunggal, tetapi banyak faktor. Di antaranya, selain mereka tak kunjung beriman, mereka juga melakukan pelecehan dan menantang dengan menekan Nabi Luth as. agar meminta kepada Allah Swt. agar menimpakan azab kepada mereka dengan segera. Permintaan azab ini sebagai bentuk perlawanan dan ketidakpercayaan akut mereka kepada kabar yang disampaikan Nabi Luth as. Di samping, mereka adalah orang-orang zhalim dan pelaku berbagai jenis kemaksiatan. Mengganggu para tamu—yang ternyata para Malaikat—dan juga mengusir Nabi Luth beserta pengikutnya dari kota Sodom itu. Sehingga, bahkan istrinya Nabi Luth as. pun nasibnya sama dengan istri Nabi Nuh as., yaitu tidak bisa diselamatkan dari azab Allah, karena ia tidak beriman pada apa yang telah disampaikan suaminya, yakni Nabi Luth as.
Selengkapnya baca dan unduh di sini
[sdm_download id=”5437″ fancy=”0″]
Baca Juga: Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 024