Sekali lagi Islam ramah hanya sebagai terma yang digunakan untuk melawan sebagian kelompok muslim yang dipersepsikan tidak ramah. Meskipun kalau dicecar lebih jauh secara epistemologis juga masih belum mapan. Karena pada hakikatnya agama yang dibawa oleh nabi Muhammad 15 abad lalu itu sejatinya sudah agama yang agung, mulia, dan cinta damai. Namun karena difahami oleh pemahaman yang tidak tepat sehingga berdampak negatif di masyarakat.
Ambigu
Berkaca pada beberapa Ormas Islam yang mendapat lebel sebagai Ormas radikal dari pemerintah saat ini, terlihat ada beberapa hal penting yang harus diklirkan. Pertama, mengingat Indonesia sebagai Negara demokrasi yang menjamin suara sipil sebagai wadah aspirasi. Kedua, fokus pada wawasan keagamaan yang membangun kerukunan meskipun mengalami perbedaan pendapat dalam menafsirkan teks keagamaan.
Namun, untuk kategori yang kedua ini sepertinya masih sulit mendapatkan porsi tolelir. Pasalnya perbedaan pendapat bisa memicu perbedaan pendapatan. Kita lihat saat ini NU sebagai Ormas Islam yang sedang mendapatkan panggungnya dengan beberapa kali meraih hibah dari pemerintah alih-alih untuk sinergitas program. Ditambah diangkatnya Yaqut yang merupakan ketua Umum GP Ansor sebagai Menteri Agama.
Menariknya ketika pemerintah menawarkan mandat sebagai wakil Mendikbud kepada Abdul Mu’ti yang merupakan Sekum Muhammadiyah, Mu’ti justru menolak. Secara kacamata manusiawi sudah bisa ditebak, meskipun boleh jadi ada alasan lain yang bersifat prinsip. Namun dalam peta pendapat dan pendapatan antara Ormas itu di kubu pemerintah tidak imbang. NU dapat jatah menteri sedangkan Muhamadiyah hanya Wamen. Padahal, dua Ormas itu yang selama ini digadang sebagai Ormas moderat.
Ambigu juga terjadi ketika militer bergabung dalam mensosialisasikan wawasan “Islam moderat.” Bercermin dari komitmen Kapolri yang hendak mewajibkan anggotanya belajar kitab kuning, atau belajar Islam yang berfaham moderat. Masalahnya bukan pada semua itu, tetapi ketika faham keagamaan dikawal oleh militer yang berpotensi menjelma pada kekuatan, yang itu berbalik dari prinsip syiar agama dengan asas humanis, seperti yang diwacanakan Kapolri baru. Jika demikian, bagaimana kampanye Islam ramah ini bisa dibawa dengan cara-cara yang humanis meskipun disosialisasikan oleh militer? Hemat penulis ini akan sangat menarik jika terealisasi.