Namun bagi kelompok yang sudah mengidap benih-benih terorisme itu tidak mau mempermasalahkan, menurutnya itu sudah diperbudak dengan akal. Akan tetapi, anehnya mereka tidak merasa bahwa tudingannya juga lahir dari akal mereka. Dari mana mereka bisa tahu bahwa pendapat mereka paling benar? Apakah datang langsung dari Tuhan? Lalu mereka menjawab bahwa di dalam Al-Qur’an banyak seruan untuk melakukan itu, seperti mengkafirkan, membunuh orang-orang kafir di manapun dan kapanpun, serta aksi kejam lainnya.
Jawaban mereka memang tidak salah. Tetapi perlu diingat bahwa perintah itu terjadi untuk kapan dan di dimana? Pertanyaan ini sangat perlu untuk membedakan antara yang masih sesuai dilakukan dan yang tidak sesuai, karena itu ada pesan serius yang harus diketahui. Ambil contoh hukum minum khamr. Kalau hanya melihat hukum khamr pada surah an-Nahl ayat 67, maka minuman yang diperas bisa memabukkan itu sebagai rizki yang baik. Artinya tidak dilarang. Lalu apakah kita mau berpegang pada ayat itu saja? Ternyata ayat itu masih punya kronologi dengan tiga ayat lain yang puncaknya pada surah al-Maidah ayat 90.
Begitu juga ayat-ayat yang menyeru untuk melakukan peperangan terhadap orang-orang kafir. Misalnya memahami surah Al-Anfal ayat 60, tanpa memahami ayat 61 yang menyeru pada perdamaian jika sudah terjadi kesepakatan. Gejala ini juga sama ketika memahami surah at-Taubah ayat 29 tanpa memahami surah al-Baqarah ayat 256, bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, dan juga memahami surah al-Hujurat ayat 13 bahwa kita semua diciptakan dengan berbeda-beda agar bisa saling mengenal.
Lalu benarkah Al-Qur’an mengajarkan jadi terorisme untuk melawan orang-orang kafir? Tindakan menjadi terorisme bisa terjadi kepada umat beragama manapun, termasuk Islam. Karena berjuang menegakkan kalimah agama itu merupakan kewajiban semua umat beragama, termasuk Islam. Tapi masalahnya apakah berjuang harus menumpas, membunuh, merampok dan menyakiti? Bukankah Al-Qur’an lebih didominasi dengan ayat-ayat damai daripada ayat-ayat perang yang sejatinya sudah tidak dikehendaki oleh Islam? Dan bukankah puncak dari kehadiran Nabi itu sebahai rahmat?