Masyarakat Indonesia belum lama ini mendengar istilah “Revolusi Akhlak”. Revolusi Akhlak ini dicetuskan oleh Habib Rizieq Syihab. Namun, apa yang membedakan antara Revolusi Mental yang digagas oleh Presiden Jokowi?.
Pada hari Selasa, (10/11), Habib Rizieq bersama keluarga, telah kembali ke tanah air Republik Indonesia. Sudah hampir 3,5 tahun ia menetap di Arab Saudi. Para pencintanya pun berbondong-bondong meramaikan bandara Soekarno-Hatta. Dalam orasi pertamanya, ia menyebutkan “Revolusi Akhlak”.
Dalam pernyataannya yang redaksi kutip sebagai berikut:
“Dengar kata revolusi, wah, kalang kabut lagi. Revolusi, revolusi, revolusi. Revolusi itu perubahan drastis dan mendasar. Jadi kalau perubahan drastis itu, kemarin tukang bohong, hari ini perubahan drastis, nggak tukang bohong lagi,”.
“Tapi, kalau kemarin tukang bohong, sekarang ngebohongnya dikurangin dikit-dikit, itu bukan revolusi,”
“Kenapa dipilih revolusi akhlak, kenapa bukan revolusi moral, revolusi budi pekerti, revolusi mental? Karena kata akhlak itu dipakai oleh Nabi kita Muhammad SAW. Nggak ada kata lebih baik dipilih kecuali kata yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW,”
Dari pernyataan diatas, Habib Rizieq menginginkan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam agar segera sadar diri. Sadar diri atas semua perilaku yang selama ini jauh dari norma-norma Islam. Yang tidak sesuai dengan perilaku atau sifat yang dicontohkan Nabi SAW.
Revolusi Akhlak ini juga mendapat perhatian dari Prof. Dr. Ahmad Mubarok, M.A. Guru besar psikologi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini memberi pandangan bahwa revolusi akhlak memiliki kedekatan dengan revolusi karakter atau revolusi mental.
Karakter bisa diubah dan dibangun melalui rasio (akal), hati, dan nurani. Kalau hanya dibangun dengan akal saja, hasilnya belum tentu bagus. Seperti logika penipu, isinya hanya tipuan.
Sedangkan karakter dibangun hanya dengan hati, dan memang bisa memahami. Hanya saja, hati memiliki sifat tidak konsisten, tergantung suasana hati.