Tak hanya itu saja, Kopindo juga melalui pengaruh para ulama Indonesia yang mengajar di Masjidil Haram dan di institusi-institusi pendidikan lainnya di Makkah, juga melalui putra-putra keturunan Indonesia di Makkah yang berkarir sebagai penulis dan jurnalis di Saudi Arabia, melakukan kampanye besar-besaran kepada khalayak masyarakat dan pemerintah Saudi Arabia agar juga turut serta mendukung kemerdekaan Indonesia.
Upaya mereka membuahkan hasil yang sangat besar. Penguasa Saudi Arabia saat itu, Raja Abdul Aziz Ibnu Saud, mengumumkan pemerintahannya mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia dan pihak pemerintah Saudi Arabia pun memberikan bantuan langsung kepada para putra Indonesia yang berada di Hijaz, baik berupa bantuan materil atau pun moril.
Pihak pemerintah Saudi Arabia memberikan izin kepada putra-putra Indonesia di Hijaz untuk mendirikan Kopindo, padahal selama masa pemerintahan rezim Dinasti Saudi, berbagai bentuk perkumpulan dilarang adanya.
Tokoh-tokoh Gerakan Kemerdekaan Indonesia
HAMKA menyebut beberapa nama yang menjadi tokoh penting dalam gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia di Makkah. Di antara nama-nama itu adalah Syaikh Abdul Muhaimin Lasem (menantu KH. Hasyim Asy’ari) yang saat itu menjadi ulama besar yang mengajar di Masjidil Haram dan memiliki pengaruh besar bagi masyarakat Asia Tenggara di Makkah, Syaikh Abdul Jalil Mukaddasi dari Solo, Syaikh Abdul Qadir dari Mandailing, Syaikh Ahyad dari Bogor, Ja’far Zainuddin dari Sumatera Timur, Abdul Lathif Sidjantan dari Minangkabau, Bakur dari Palembang, Ahmad Djunaidi dari Bima dan lain-lain.
Pada setiap kesempatan, putra bangsa Indonesia di Makkah senantiasa mempropagandakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Gambar-gambar Soekarno, Hatta, Sjahrir dan tokoh-tokoh revolusi perjuangan lainnya menghiasi dinding-dinding rumah mereka di Makkah. Perasaan egosentrisme kedaerahan dilebur menjadi satu rasa, satu nusa, satu bangsa, satu negara, satu bahasa; yaitu satu Indonesia.
Baca juga: HUT RI ke-75: Mengisi Kemerdekaan dengan Nilai-Nilai Ilahiyah
Sebagian dari mereka banyak yang menulis karangan dalam bahasa Arab terkait perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan mereka kirimkan ke koran-koran Arab di Mesir, Irak, Suriah, Maroko, dan Saudi Arabia sendiri. Hasilnya, hampir seluruh negara dan bangsa Aran menerima berita kemerdekaan Indonesia dengan sangat gembira.
Pada tahun 1947, ketika Presiden Soekarno mengutus Menteri Luar Negeri Indonesia (H. Agoes Salim) untuk melakukan perjalanan ke beberapa negara Arab guna mendapatkan simpati, sokongan dan dukungan kemerdekaan, maka menjadi nyata dan sangat beruntunlah jatuhnya pengakuan “de facto” dan “de jure” atas kemerdekaan Indonesia dari negara-negara Arab itu.
Kerajaan Saudi Arabia sendiri mulai mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia sejak diproklamirkannya proklamasi 17 Agustus 1945. Dukungan dan simpati Saudi Arabia itu berpuncak pada tahun 1946 ketika secara resmi menyatakan dukungannya atas kemerdekaan Indonesia dalam sidang Liga Arab.
Pada tahun 1949, Saudi Arabia juga mengutus wakil pemerintahannya untuk datang ke Jakarta dan bertemu dengan Presiden Soekarno dan pejabat pemerintah Indonesia saat itu. Wakil Saudi Arabia tersebut bernama Syaikh Abdul Hamid al-Khatib, yang tak lain adalah putra dari Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, seorang ulama besar Masjidil Haram asal Sumatera Barat yang juga menjadi imam, khatib dan penulis sejumlah karya rujukan dunia Islam.
Ketika pemerintahan Indonesia membuka kantor kedutaan besarnya di Saudi Arabia dan mengutus H.M. Rasjidi sebagai duta besar pertama Indonesia untuk Saudi Arabia tahun 1949, tiga ribu putra Indonesia berbaris di jalan raya menyambut kedatangan beliau sambil mengibarkan bendera merah putih dan memekikkan “Merdeka” dan “Allahu Akbar”. Bendera Merah Putih Indonesia berkibar di sudut-sudut kota Makkah dan Jeddah.
Suka cita bangkitnya nasionalisme para putra Indonesia di Hijaz, rupanya juga diikuti oleh bangsa-bangsa serumpun lainnya, seperti Malaya dan Pattani. Mereka turut serta mengibarkan bendera merah putih dan ikut hanyut dalam terbakarnya api nasionalisme dan kemerdekaan. Mereka orang-orang Malaya dan Pattani pada saat itu masih menjadi bangsa jajahan. Perasaan kemerdekaan mereka pun tertumpahkan melalui perjuangan Indonesia.