Akan tetapi, sebagaimana tema webinar ini, “Ayo Mondok, tapi Jangan Salah Pilih”, Mas Savic (Savic Ali) telah memberikan peringatan hadirnya sejumlah pesantren baru yang tidak senafas dengan Keindonesiaan. Ini tentu berbeda dengan pesantren-pesantren yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama, misalnya, yang memiliki semangat Keindonesiaan yang sangat kuat.
Namun tak cukup hanya semangat keindonesiaan, demikian Mas Savic mengingatkan. Karena pesantren perlu merespon sejumlah tantangan baru agar terus mampu menampilkan Islam Rahmatan Lil Alamin secara lebih mainstream, terutama di kalangan kelas Menengah. Tantangannya mulai dari aspek-aspek fisik sampai pada persoalan kompetensi penting seperti berpikir kritis, kolaborasi, literasi sebagai keterampilan penting di abad 21.
Saya ingin mengakhiri catatan akhir ini dengan mengutip kata-kata Khilma Anis “Berbuat sedikit lebih baik daripada berangan-angan untuk berbuat banyak”. Akhir kata, terima kasih kepada Bu Nyai Hindun Anisa, Mas Savic Ali dan Ning Khilma Anis. Seperti saran Mas Savic, kita perlu terus berkolaborasi dan bergandengan tangan, karena perubahan tak bisa hadir hanya dengan berpangku tangan. Dalam novel Suhita kita diajarkan untuk tak pernah lelah meraih cita-cita. Untuk meraih hati Gus Birru, Suhita tak cukup dengan mengalirkan air mata, tapi dengan beragam upaya dan doa. Salam takdzim dari saya.