Islamina.id – Munculnya Islamisme politik seiring dengan lahirnya Al-Qaeda dan kemudian ISIS beserta apa yang mereka praktikkan di wilayah-wilayah yang mereka kuasai, juga ledakan konflik-konflik sektarianisme dan sukuisme, menjelaskan bahwa banyak masalah yang belum terselesaikan di dunia Islam.
Dalam pandangan kelompok ini, demokrasi adalah sistem kafir berdasarkan pada konstitusi positif yang menjadi acuan bagi umat, dan pemerintahan rakyat bertentangan dengan konsep hâkimîyyah (kedaulatan Tuhan) atau pemerintahan dalam Islam. Kaitan erat demokrasi dengan pengalaman politik dan peradaban Barat yang sekular menjadi alasan mereka untuk mewaspadai dan bahkan menolak demokrasi.
Banyak kelompok keagamaan di dalam Islam yang memandang demokrasi sinonim dengan sekularisme dan sekularisme sinonim dengan ateisme! Kelompok-kelompok ini mengadopsi pemikiran Wahabi, organisasi Al-Qaeda, ISIS dan lain-lain.
Baca juga: Benarkah Demokrasi Bertentangan dengan Islam?Ini Penjelasannya (1)
Terdapat pandangan lain yang tidak menolak demokrasi secara prinsip, tetapi melihat demokrasi ada dalam Islam melalui prinsip syûrâ. Menurut pandangan ini dimungkinkan untuk menciptakan ruang pertemuan dan koeksistensi antara Islam dan demokrasi.
Pandangan ini diadopsi oleh beberapa negara seperti Maroko, Turki dan lainnya, serta kelompok-kelompok dan tokoh-tokoh pemikir seperti Hassan al-Turabi di Sudan, al-Raisuni di Maroko, Hizbun Nahdhah di Tunisia, dan bahkan Ikhwanul Muslimin belakangan ini.
Relasi Islam dan Demokrasi
Terlepas dari semua yang telah terjadi beberapa tahun terakhir, yang pasti demokrasi dan Islam tidak dapat dijauhkan dari pembangunan negara, dan ini berlaku bahkan untuk negara-negara yang belum tersentuh api kekacauan Arab Spring.
Demokrasi dan kemitraan politik untuk semua adalah syarat utama untuk membangun kembali negara pada fase post-Arab Spring, keduanya merupakan jaminan kehidupan yang layak dan kebebasan dalam segala bentuknya, jaminan penghormatan terhadap keyakinan agama rakyat, serta jaminan budaya, identitas dan agama mayoritas, bukan aturan individu atau segelintir orang yang menyatakan diri berbicara atas nama Islam dan umat Muslim, atau atas nama sekte atau etnis tertentu.
Tetapi itu tidak berarti bahwa kita harus meniru model demokrasi dan sekularisme Barat, yang diperlukan adalah menyesuaikannya agar selaras dengan budaya dan ciri khas kita, seperti yang telah dilakukan oleh bangsa-bangsa lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Afrika, juga beberapa negara Islam seperti Malaysia dan Turki sampai batas tertentu, karena demokrasi tidak selalu berarti westernisasi melainkan modernisasi dan modernitas sistem politik.
Sama halnya dengan sekularisme yang tidak berarti melawan agama, tetapi lebih kepada upaya mengatur hubungan antara agama dan negara dengan menghormati dan mengatur bidangnya masing-masing.
Baca juga: Potret Islamisme di Indonesia
Pertanyaannya: bisakah Islam menjadi demokratis? Bisakah partai Islam demokratis dibentuk? Kedua pertanyaan ini menempati area yang sangat luas di dalam berbagai dialog karena transformasi besar yang dialami masyarakat Muslim di tingkat sosial, politik dan ekonomi.