Masih lekat dalam ingatan, betapa ISIS pernah menyebar ideologi transnasional radikal. Sayangnya, ideologi radikal justru meraih empati dan dukungan masyarakat dunia. Melalui jalur publikasi internet, ISIS memanfaatkan jalur transmisi efektif untuk menyebarkan narasi. Mereka mendengungkan bahwa heroisme adalah bentuk kegagahan. Alhasil, gelombang migrasi kader ISIS melalui media baru (internet) menuju daerah konflik sangat tinggi. Tidak hanya kaum laki-laki yang tergugah. Perempuan pun rela meninggalkan kewajiban beribadah (mengurus keluarga) demi terpukau narasi dari militan ISIS melalui media baru.
Bahkan, kaum perempuan yang terbuai ajakan ‘jihad’ justru menjadi korban pelecehan seksual. Hal ini tentu saja berlawanan dengan ajaran agama. Sikap militan ISIS yang jauh dari norma-norma agama semakin menyadarkan dunia akan pentingnya perang terhadap radikalisme. Radikalisme berwajah Islam heroik harus diwaspadai. ISIS hanyalah satu contoh ideologi transnasional. Di nusantara, ajakan untuk mendirikan khilafah merupakan gerakan nyata ancaman ideologi radikal-transnasional.
Di era media baru (baca: internet), daya tangkal terhadap ideologi transnasional harus ditingkatkan. Teknologi merupakan moderator yang efektif untuk memudahkan ideologi transnasional radikal di kalangan milenial. Jika tak didasari literasi media beragama yang tinggi, bukan tidak mungkin rekrutmen berbiaya rendah dari radikalis akan menuai sukses. Di Indonesia, istilah Islam transnasional pertama kali disampaikan pada tahun 2007 oleh KH. Hasyim Muzadi. Beliau dikenal sebagai ulama sekaligus mantan ketua umum PBNU (Aksa, 2017).
Ciri ideologi transnasional adalah mampu melewati batas-batas kenegaraan (nation state) untuk meraih simpati berlebihan. Padahal, ideologi transnasional memiliki sifat yang sering bertentangan dengan tradisi lokal. Dalam konteks politik kebangsaan, ideologi transnasional menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI. Tuntutan ideologi tersebut sangat jelas. Muhammad (2019) memaparkan bahwa ideologi transnasional memaksa penerapan hukum-hukum agama secara formal. Ia juga mengharuskan pendirian negara berdasarkan suatu keyakinan keagamaan tertentu di masyarakat plural. Pada kenyataannya, menangkal ideologi transnasional radikal tidaklah mudah.
Literasi agama harus menjadi modal spiritual bagi muslim di Indonesia agar tidak mudah terjebak pada simpati ‘salah alamat’. Hal ini bukan berarti kita abai terhadap isu-isu transnasional. Bersikap rasional terhadap ideologi transnasional harus mendapat prioritas. Indonesia pernah menampilkan sikap bijak dalam menyikapi ideologi transnasional. Dalam menghadapi konflik di Afghanistan misalnya, sikap rasional sudah nampak.