Apalagi mayoritas objek yang bersentuhan langsung setiap hari dan merasakan pengaruh buruk sosial media adalah generasi millenial yang masih bimbang secara psikologis, mental dan aktualisasi diri. Mereka mulai apatis, cuek terhadap lingkungan dan sulit diajak berkomunikasi dengan orang tua.
Inilah bibit yang mendidik mereka kedepannya untuk menjadi sosok manusia liberal. Meskipun dengan rentang waktu yang cukup lama, masif, dan invisible tapi pasti. Kini di era postmodern, tidak ada lagi peperangan dengan kekerasan; mengangkat senjata atau menembakan meriam. Tetapi peperangan yang ada dan jelas di depan mata adalah peperangan ideologi yang di bawa dunia barat melalui sosial media. Lambat laun, generasi millenial yang seharusnya menjadi pemegang tongkat estafet untuk memimpin bangsa ini dikhawatirkan menjadi generasi yang liberal berkat sosial media dan teknologi.
Habib Ali Al-Jufri (2022) menyatakan dalam halaqoh dakwah international bahwa era digital telah menyentuh lebih setengah penduduk dunia dari berbagai macam lapisan masyarakat. Tentu dalam era digital ini ada keuntungan dan kerugian yang beragam dan bercabang. Apa yang terjadi di dalam hubungan dunia maya merubah secara drastis neraca-neraca yang ada di dunia nyata ini. Oleh karena itu, bekal kita untuk menghadapi tantangan di zaman digital adalah dengan bersifat dan berpegang teguh tehadap adab (akhlak), khususnya yang termaktub dalam kitab adabul alim wa al-muta’lim.
Tentu sangat diperlukan adanya bahasan dan penelitian secara konkret tentang hal ini. Adanya upaya untuk mensiasati atau meng-counter program liberalisasi generasi millenial oleh dunia barat. Sebagai masyarakat Indonesia yang menginginkan kemajuan bangsa ini. Tetapi tetap berjalan sesuai moral dan etiak sosial yang ada. Maka seyogyanya ada upaya untuk menjaga, melestarikan dan melanjutkan pengajaran moral, nilai-nilai sosial dan batasan penggunaan sosial media, serta penanaman kembali budaya “ke-Indonesia-an”, baik di sekolah, lembaga, lingkungan dan keluarga.
Wallahu a’lam