Jika buku teror tersebut beredar luas dampaknya bisa sangat berbahaya dalam konteks keberlanjutan bangsa Indonesia. Kriminalitas akan terus meningkat. Tak hanya dilakukan oleh perseorangan, tetapi juga secara terstruktur dapat dilakukan oleh organisasi atau perkumpulan tertentu.
Keluarga, Internet dan literasi
Selain menunggu inisiatif dari negara dalam merespon beredarnya buku teror tersebut, bangsa Indonesia juga perlu membuat proteksi dini. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting untuk mendidik anak yang santun, berkarakter, berakhlak dan toleran.
Orang tua yang tidak memiliki kecukupan waktu yang berkualitas untuk berinteraksi dan mendidik anaknya berada dalam ancaman terdepan. Anak-anaknya secara diam-diam bisa saja mengakses buku-buku tersebut, tanpa sepengetahuan kedua orangnya.
Ini sama halnya bahaya narkoba dan pornografi kepada anak-anak. Sekalipun anaknya hanya berada di kamar, ia tetap dapat berinteraksi dengan dunia luar melalui alat bantu internet. Jangan bangga jika anaknya hanya berada di kamar sementara ia tetap terkoneksi dengan dunia luar. Sudah ada banyak peristiwa bagaimana ajaran radikalisme, misalnya, menyebar melalui jalur internet.
Maka, peningkatan literasi –dalam makna yang sangat luas, bukan sekedar bisa membaca–menjadi sangat penting. Sejauh ini, sering ada salah kaprah terkait dengan literasi yang hanya dimaknai dengan kemampuan membaca. Padahal, literasi lebih maknanya ketimbang sekedar membaca.
Salah satu keterampilan penting dalam literasi adalah berpikir kritis. Melalui berpikir kritis, seseorang dapat menyeleksi dan mengkritisi apa yang dibaca dan yang dilihat, termasuk ketika mengakses buku teror. Sehingga hal tersebut bisa menjadi modal penting dalam merespons informasi, termasuk buku teror.
Selain dari pada itu, kelompok moderat tidak boleh tinggal diam. Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, tidak bisa membiarkan beragam buku teror terus menyebar. Sebagai organisasi gudang kiai dan ulama, NU memiliki tanggungjawab moral untuk terus menghadirkan bacaan-bacaan yang lebih mendalam, moderat, dan konstruktif, sebagaimana yang telah menjadi karakteristik NU.
Tentu tak cukup hanya NU, organisasi-organisasi lain yang berhaluan moderat perlu terus bergandengan tangan, bukan hanya mengcounter buku teror, tetapi juga memperkaya bacaan umat Islam Indonesia. Dengan cara inilah, tanggungjawab sejarah organisasi Islam di untuk menjaga keutuhan Indonesia dapat ditunaikan.
Alhasil, hadir dan menyebarnya buku teror akan mengancam keutuhan NKRI karena buku tersebut dapat menjadi acuan untuk melakukan kekerasan. Negara tidak bisa mendiamkan, harus ada langkah tegas dan terukur untuk menyikapi hal tersebut. Begitu juga dengan kelompok moderat, ia harus ambil bagian dalam upaya penyemaian corak keberislaman yang santun, toleran dan damai.