Posisi sebagai suami atau istri dalam sebuah keluarga, hampir tidak semuanya selalu harmonis. Pasti ada sedikit kesal atau kecewa menjalani kehidupan bersama. Beberapa dekade terakhir muncul istilah toxic relationship. Apa sebenarnya toxic relationship?
Terminologi toxic relationship merujuk dalam sebuah hubungan yang ditandai dengan sifat-sifat ‘beracun’ yang berpotensi merusak fisik maupun emosional diri sendiri atau pasangan. ‘Beracun’ dalam hal ini seperti kebalikan dari hubungan yang sehat. Apabila dalam hubungan yang sehat diperbanyak rasa kasih sayang, dan saling menerima, maka toxic relationship adalah kebalikannya.
Mengutip dari Healthline, ada beberapa ciri yang menandakan suatu hubungan sudah dalam kategori toxic relationship. Salah satunya adalah minimnya support dari salah seorang pasangan, dan diskomunikasi atau sering adu mulut.
Terlebih itu, adanya rasa ingin mendominasi hubungan, cemburu berlebihan, dan tidak jujur (berbohong atau diam) juga menjadi ciri lain yang mengindikasikan hubungan itu telah menjadi toxic relationship.
Berikut ini 3 karakter pasangan yang berpotensi menciptakan toxic relationship, dan cara Islam mengatasinya:
1. Meremehkan dan Mencela
Pasangan toxic kategori ini, memiliki tujuan kuat untuk menjaga self-esteem-nya (harga diri). Supaya pasangannya tidak menentang kontrolnya. Oleh sebab itu, ia akan suka mudah meremehkan, mencela, dan mengolok-olok pasangannya, tak terkecuali di depan umum.
Peringatan tidak boleh meremehkan maupun mencela sudah termaktub dalam Alquran Surah al-Hujurāt ayat 11:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” [Q.S. al-Hujurāt: 11]
Imam Al-Ghazali juga menjelaskan dalam Ihya’ ‘Ulumuddin :
السخرية الاستهانة والتحقير والتنبيه على العيوب والنقائص على وجه يضحك منه وقد يكون ذلك بالمحاكاة في الفعل والقول وقد يكون بالإشارة والإيماء
“Pengertian sukhriyyah atau olok-olok adalah tindakan menghina, merendahkan, dan mengangkat aib serta kekurangan orang lain dengan jalan ‘menertawakannya.’ Hal itu dapat dilakukan dengan perbuatan atau ucapan, terkadang dengan isyarat dan petunjuk tertentu,” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Kairo, Darus Syi‘ib: t.th.], juz IX, h. 1577-1578).
Untuk itu, seharusnya tiap pasangan tidak boleh saling merendahkan dan merasa paling “pintar”. Ada baiknya saling mendukung satu sama lain.