Islamina.id – Salah satu visi pendidikan UNESCO adalah bagaimana menciptakan orang-orang terdidik yang dapat hidup bersama (to live together) di tengah keragaman. Visi ini semakin menantang di era ini meningat semakin tingginya intoleransi dan politik identitas, tidak hanya pada skala nasional, melainkan juga di kalangan mahasiswa.
Penelitian Wahid Foundation tahun 2017 menemukan lebih dari 60 % aktivis rohis siap berjihad dalam pengertian yang lebih keras. Bahkan, ada 11 juta masyarakat Indonesia siap bertindak radikal. Hasil penelitian itu terkorfimasi melalui fakta di lapangan. Beberapa pelaku terorisme pernah mengenyam pendidikan tinggi. Pola penyebaran radikalisme di perguruan tinggi berbeda dengan jenjang sekolah di bawahnya. Jika pada jenjang sekolah menengah atas hanya dalam bentuk doktrinasi, sedangkan pada jenjang perguruan tinggi bisa jadi dalam bentuk doktrinasi dan bentuk praktisnya. Hal demikian memungkinkan karena potensi perguruan tinggi yang memiliki ruang gerak lebih luas daripada jenjang pendidikan di bawahnya.
8 Pintu Masuk Radikalisme di Kampus
Dalam diskusi intensif para dosen-dosen Perguruan Tinggi Umum yang diadakan oleh Kementerian Agama pada akhir tahun 2018, menemukan ada delapan pintu masuk radikalisme ke dalam Perguruan Tinggi. Pertama, “dosen radikal”. Tak bisa disangkal bahwa secara faktual beberapa dosen sudah terpapar paham radikal. Bahkan, tidak sedikit Perguruan Tinggi, juga Sekolah, menjadikan orang-orang yang “seolah-olah religious” namun tuna kompetensi sebagai dosen Agama. Dampaknya tentu sangat berbahaya. Ibarat dalam dunia kedokteran, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika yang mengajarkan ilmu kedokteran adalah alumnus tafsir hadist, misalnya. Karena paham radikalisme inilah, Kemenristek Dikti memecat salah seorang dekan dan dosen di salah satu perguruan tinggi.
Kedua, Lembaga Dakwah Kampus (LDK). LDK ini memiliki posisi strategis karena LDK ini memiliki status legal, dekat dengan mahasiswa, dan didukung oleh segenap civitas akademika maupaun instansi pemerintah. Sayangnya, lembaga dakwah kampus menjadi salah satu pintu masuk radikalisme yang paling deras. Sebagaimana yang terjadi pada Rohis di Sekolah, aktivits-aktivis LDK banyak yang terafiliasi dengan tokoh dan organisasi yang berpaham radikal.
baca juga: Membaca Potensi Penyebaran Radikalisme di Masa Pandemi
Ketiga, Mesjid kampus. Mesjid idealnya merupakan tempat ibadah untuk membangun ketaqwaan kepada Allah. Akan tetapi, masjid belakangan ini memiliki fungsi “lain”, yakni menjadi mimbar untuk menyebarkan paham radikalisme. Hasil penelitian Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan menunjukkan bahwa dari 100 masjid kantor pemerintahan di Jakarta, 41 masjid terindikasi paham radikal yang terdiri atas 21 masjid di BUMN, 12 masjid di kementerian, dan 8 masjid di lembaga negara. penelitian ini dilakukan pada sejumlah masjid di kementerian sebanyak 35 masjid, di BUMN 37 masjid, dan di lembaga negara sebanyak 28 masjid.