Keduanya identik dalam arti bahwa Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslim tidak pernah diminta Allah SWT untuk mengajak orang memeluk Islam, melainkan kepada kebenaran, untuk ammar ma’ruf nahi munkar, yang sebenarnya adalah Islam.
Berbeda dengan sebelumnya, al-Sayyid Muhammad Husayn Fadhlullah dalam bukunya yang berjudul Uslub al-Da‘wa fi al-Qur’an (1994: 34) berargumen bahwa dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar merupakan dua hal yang berbeda.
Baginya, dakwah meliputi lebih dari sekedar menganjurkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Dakwah lebih luas dari itu semua. Salah satu perbedaan paling mendasar menurutnya bahwa dakwah hanya fokus pada non-Muslim, sedangkan amar ma’ruf nahi munkar dikhususkan kepada sesama Muslim.
Selanjutnya, masih terkait ayat dalam surat Ali Imran (3): 104, merupakan salah satu kasus langka di mana Al-Qur’an berbicara tentang “sekelompok” orang yang akan diserahi tugas tertentu, yaitu melaksanakan apa yang dianggap benar dan mencegah apa yang dianggap salah.
Abu Hamid Al-Ghazali menyatakan bahwa hukum amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah. Beliau membedakannya dalam lima bentuk: memberi nasihat sederhana, berkhotbah dengan bahasa yang santun, mencegah kemungkaran dengan sekuat tenaga, menghukum orang yang melakukan kemungkaran, dan mengancamnya untuk tidak melakukan tindakan berdosa.
Menjelaskan ayat yang sama, Ibnu Katsir juga telah memikirkan kata “kelompok” dengan menunjukkan pada mujahid dan ulama. Beliau menjunjung tinggi gagasan bahwa aktivitas ini memang diarahkan kepada kategori manusia yang secara khusus memiliki keterampilan, bahkan ia melarang masyarakat umum yang tidak terlatih.
Subjek dakwah, seperti yang telah disebutkan Al-Qur’an, sangatlah banyak: Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dan utusan Allah lainnya, manusia biasa, bahkan setan. Seseorang bisa mengatakan ada dua kutub yang bersaing menggunakan istilah dakwah: yang satu mengajak dan mengundang kepada jalan yang diridhoi Allah dan para Nabi-Nya, lainnya mengajak kepada penyembahan berhala (syirik, dll).
Pada kesimpulannya, saya tutup tulisan ini dengan mentadabburi kembali ayat di surat An-Nahl (16): 125:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
Baca Juga: Edisi Dakwah: Ruang Lingkup Dakwah (1)