Bahkan dalam internal mazhab saja, acap kali antara ulama yang satu dengan yang lain, juga berbeda.
Dalam hal kenajisan (liur) Anjing, mereka berbeda-beda pandangan, padahal sama-sama berangkat dan merujuk Hadis tentang jilatan Anjing pada bejana yang mengharuskan mencucinya tujuh kali yang salah satunya disertai debu (HR. Muslim, dari Abu Hurairah).
Dalam hal batal atau tidaknya wudhu’ akibat persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram, itu juga mereka berbeda-beda pandangan, kendati ayat yang dirujuk sama persis: aw lamastum al-nisa’/atau kalian menyentuh perempuan (Qs. al-Maidah: 6).
Belum lagi soal sunnah-sunnah yang lain semisal qunut Shubuh, ukuran membasuh rambut dalam wudhu, dan sebagainya. Dalam hal-hal yang sifatnya prinsip agama, perbedaan pandangan ini memang tidak akan terjadi; semisal terkait jumlah rakaat shalat Dhuhur, Ashar, Mahgrib, ‘Isya dan Shubuh; terkait arah kiblat, waktu puasa Ramadhan, dll.
Jika perbedaan terjadi pada wilayah prinsip seperti ini, maka menurut Imam al-Khattabi, dampaknya akan membahayakan akidah umat Islam.
Cara Ulama Menyikapi Perbedaan
Untuk itu, ketika para ulama menghadapi keragaman pandangan furu’iyyah (disiplin cabang, bukan pokok), mereka santai dan enjoy. Mereka tidak mempertentangkannya secara serius, apalagi hingga gontok-gontokan, saling mengancam atau mem-bully, toh masing-masing memiliki pijakan dalil dan logika sendiri-sendiri.
Tak heran karenanya, dalam tradisi dan keyakinan para ulama, dikenal semboyan yang sangat populer: ra’yuna shawab yahtamil al-khata’ wa ra’y gharina khata’ yahtamil al-shawab (Pendapat yang kami yakini benar, bisa saja malah mengandung kekeliruan. Pendapat selain kami, yang kami nilai keliru, bisa jadi malah mengandung kebenaran).
Mereka tidak memfanatikkan pandangannya, sehingga menilai pandangan dirinya yang paling benar dan pandangan orang lain niscaya keliru.
Bahkan, mereka seringkali mewanti-wanti generasi setelahnya, supaya tidak mengikuti pandangan mereka, melainkan mengikuti apa yang mereka ikuti, yakni Alquran dan Sunnah, karena kebenaran hasil ijtihad itu sifatnya relatif! Itulah kesantaian mereka dalam menyikapi keragaman, yang perlu diteladani.
Kesadaran bahwa “keragaman sengaja Allah SWT ciptakan untuk kemudahan umat ini” mestinya terus tertanam kuat dan mengakar dalam diri setiap muslim, sehingga mereka sungguh-sungguh bergembira merayakan perbedaan.
Itulah hikmah perbedaan, sebagai rahmat bagi umat. Melalui keragaman, umat Islam bisa menyeleksi dan memilih mana pandangan yang sesuai kebutuhan dirinya, masyarakatnya dan konteks sosialnya, sehingga ajaran Islam benar-benar shalih li kull zaman wa makan (kompatibel untuk segala situasi dan kondisi). Wa Allah a’lam.