Sebagaimana yang kita tahu, menjelekkan Tuhan agama dan keyakinan orang lain jelas dilarang oleh Allah. Larangan ini secara jelas dan pasti termaktub dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 108:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Kedua, kecenderungan untuk seketika menjadi ustadz atau da’i. Sejumlah mualaf —tentu tidak semuanya—seketika langsung mendapatkan mimbar atau panggung untuk berceramah, menjadi khatib Jum’at, dan mengisi sejumlah kajian, dan bahkan imam sholat. Tentunya, sebagai muslim pasti dan wajar senang ketika ada penambahan saudara seiman.
Namun, memberikan panggung untuk berceramah, menyampaikan ajaran-ajaran Islam , bahkan mengeluarkan fatwa tentu saja tindakan yang bukan saja ceroboh tetapi juga tidak sesuai dengan yang diteladankan Nabi Muhammad SAW. Alih-alih memberikan mimbar untuk berkhutbah Jum’at, orang-orang yang baru masuk Islam dibimbing oleh Nabi, dibekali sejumlah ilmu pengetahuan. Bentuk bimbingan yang paling nyata adalah dijadikannya mualaf sebagai orang yang berhak (mustahiq) menerima zakat.
Kenapa disebut ceroboh? Karena tidak semua orang dapat menyandang gelar ustadz, murabbi apalagi mufti. Tentu saja, siapa saja dapat menyandang gelar ustadz, mufti dan ulama sekalipun, termasuk mualaf, jika orang tersebut memenuhi kriteria-kriteria yang sangat ketat. Jika tidak, apa yang diceramahkan bukan saja berpotensi salah, tetapi juga berpeluang sesat dan tidak sesuai ketentuan Allah.