Dulu pada abad 17, 18, para ilmuan Eropa sangat muak dengan pertautan atas agama dengan segala perkembangan keilmuan. Sebab, apapun harus berada di bawah kesakralan gereja dengan merujuk kitab suci. Ketika itu, pengaruh gereja dianggap menindas para ilmuan akibat temuan-temuan mereka yang bertentangan dengan kitab suci. Dari sebab itu, para ilmuan mulai ramai-ramai bahkan meninggalkan agama akibat dianggap menjenuhkan.
Akhir-akhir ini kita sering dapati kasus seperti ini terjadi. Baik yang bertautan dengan konteks sosial maupun sains. Konteks yang terakhir bisa dilihat berapa banyaknya kelompok agamawan yang menolak adanya Covid, Protokol Kesehatan maupun Vaksin dengan dalih bertentangan dengan agama.
Atau kasus yang pertama, seperti peristiwa maraknya pertanyaan lucu netizen yang menanyakan agama orang-orang yang sudah meninggal. Atau menanyakan agama para tokoh publik yang dianggap berpenampilan tidak agamis. Seperti contoh kasus Mutia Ayu, istri mendiang Glenn Fredly saat berpose soal baju lebaran.
Kasus yang sama juga pernah menimpa artis Rina Nose. Dia dibuat jengah oleh netizen perihal pertanyaan yang tidak relevan itu. Netizen mempersoal agamanya karena melihat dia telah menikah dengan bule.
Tampaknya, penampilan di publik perlu merepresentasikan agama. Sehingga bisa jadi bagian dari fungsi agama bagi orang meninggal untuk mendapatkan empati dari netizen. Padahal jika semuanya diukur dari kesalihan publik, dampak yang bakal terjadi akan sangat panjang. Sehingga seolah-olah keabsahan agama hanya ditentukan oleh netizen, bukan lagi soal norma dan etika.
Selama musim Pandemi ini sebenarnya tidak perlu mempertentangkan agama jika hanya untuk sekedar empati kepada korban atau saudara yang membutuhkan. Agama seharusnya menjelma pada suatu prinsip, yaitu maslahat dan sehat bersama. Saling mendoakan dan memberi dukungan.
Imbas lainnya jika netizen terus memiliki pertanyaan lucu soal agama, tragedi yang pernah terjadi di Eropa atas keputusan untuk memisahkan diri dari kesucian gereja yang dianggap menindas bisa jadi akan terulang kembali. Bukan tidak mungkin jika semangat sekulerisme yang pernah diterapkan di Turki juga akan terulang lagi.
Baca Juga:
Tumbal Pesugihan dan Kepercayaan Beragama