Disamping sebagai simbol ketaqawaan kepada Allah, berkurban juga merupakan simbol atas kontinuitas (keberlangsungan) ajaran Tuhan. Sebab, ajaran berkurban telah berlangsung sejah Nabi Ibrahim AS, bapak seluruh agama (Islam, Kristen dan Yahudi, Abrahamic Religion), ketika mendapat perintah Tuhan untuk menyembelih (berkurban) anaknya, Isma’il. Karena itulah, sangatlah ironis jika agama serumpun tersebut (Islam, Kristen dan Yahudi) berkonflik dan melakukan pertumpahan darah dimuka bumi ini. Sebab, pada dasarnya agama-agama tersebut memiliki titik temu (kalimah sawa’, QS. 3: 64) yang bisa mengeliminir perbedaan-perbedaan formalitas-simbolik diantaranya.
Ajaran Tuhan yang disampaikan kepada Muhammad sama halnya dengan yang diwasiatkan kepada Nuh, Ibrahim dan nabi-nabi sebelum Muhammad, Tuhan seluruh agama adalah satu (QS.42: 13, QS. 29: 46, 42:15) Sejalan dengan itu, Muhammad Abu Zahro (1985) mengatakan bahwa sesungguhnya seluruh syariat adalah satu kesatuan (inna al-syara’ia al-samawiyah wahidatun fiy ashliha).
Perbedaan ajaran agama yang bersifat partikular dan formalitas bukan untuk berseteru, bersaing dan saling membunuh diantaranya, tetapi hanya untuk melakukan kerjasama, saling mengenal, menghargai dan toleransi. Ajaran yang dibawa oleh Muhammad bukan untuk menghilangkan tradisi nabi sebelumnya, Isa (Yesus) dan Musa, tetapi untuk melanjutkan ajaran, tradisi yang telah dirintis sebelumnya. Khalil Abdul Karim (1990) menjelaskan bahwa ibadah haji, puasa, thawaf, jumrah, talbiyah merupakan tradisi masa lalu yang berlangsung sejak Nabi Ibrahim As.
Maka dari itu, sudah saatnya perbedaan agama tidak dijadikan alasan untuk saling membenci, melakukan kekerasan dan teror atas nama agama. Tanpa ada formasi kerjasama dan toleransi yang kuat diantara agama-agama tersebut, bukan hal mustahil, Clash of Civilization sebagaimana yang diramalkan oleh Samuel P. Huntington akan menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Sehingga, kekhawatiran Malaikat akan terjadinya pertumpahan darah karena perbuatan manusia benar-benar terjadi (QS. 2:30). Ini tentu sangat ironis.
Karena itu, tak ada pilihan lain kecuali mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan, membangun solidaritas yang kuat, toleransi dan terbuka terhadap perbedaan. Sebab, seluruh ajaran agama, seperti Idul Adha bukan semata-mata sebuah ritus keagamaan yang bersifat transenden an-sih tetapi melampirkan pesan-pesan sosial yang sangat kaya. Jika demikian, penilaian Emile Dermenghem dalam Muhammad and the Islamic Tradition (1981) bahwa Islam adalah agama kemanusiaan terbuka (open humanism) dan agama terbuka (open religion) yang dapat menampilkan sebagai agama masa depan bisa diamini dan menjadi harapan serta cita-cita seluruh umat Islam mendatang. Dan, melalui Idul Adha inilah perlu dimulai kehidupan yang damai, toleransi, saling membantu, membangun solidaritas sosial dan peduli terhadap kaum dhu’afa. Wallahu ‘a’lam.