Tulisan yang sangat inspiratif, dan menginspirasi saya juga untuk menulisnya di Renungan subuh. Postingan di atas tersebut menimbulkan pertanyaan di diri saya tentang sikap yang ditunjukkan oleh Hajar saat menerima suaminya (Ibrahim AS) pergi meninggalkan dirinya, apakah sebuah keikhlasan atau keridhoan? Lalu ketika Ibrahim pergi meninggalkan istrinya untuk melaksanakan perintah Allah SWT, itu sebuah keridhoan atau keikhlasan?
Saya tidak berada dalam posisi ingin menilai postingan yang inspiratif tersebut. Yang jelas postingan tersebut menginspirasi saya untuk menulis renungan ini. Disamping ada alasan lain. Agar tulisannya agak panjang.
Saya kutipkan ungkapan yang cukup menarik dari Imam Robiy’ yang mudah-mudahan bisa mengatarkan kita untuk memahami kata ridho dan ikhlas:
قال الربيع علامة حب الله: كثرة ذكره.. وعلامة الدين: الإخلاص لله في السر والعلانية.. وعلامة الشكر: الرضا بقدر الله والتسليم لقضائه
“ Berkata Imam Robiy’: Tanda cinta kepada Allah adalah: dengan banyak mengingatnya… dan tanda agama pada seseorang adalah ikhlas karena Allah baik dalam kesendirian/sunyi maupun dalam keadaan ramai… dan tanda seseorang bersyukur adalah adanya ridho terhadap takdir Allah dan menerima apa yang Allah tentukan.” (Muhammad bin Ahmad bin al-Hasan Rofiq, al-Ridho bi al-Qodho wa al-Qodar, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, hal.107).
Khalifah Umar bin Adul Aziz dalam salah satu doanya sebagaimana dikutip dalam kitab Sirah Umar bin Abd al-‘Aziz yang disusun oleh Al-Hafizh Jamaluddin Abu al-Faraj Abdurrahman ibn al Jauziy al-Baghdadiy, cetakan al-Muayyad, hal. 195) beliau mengatakan:” Allahumma Rodhdhiniy bi Qodhoik…, ya Allah jadikan aku orang yang ridho atas ketentuanmu….”. Beliau tidak mengatakan jadikan aku orang yang ikhlas atas ketentuan-Mu.
Dengan demikian ridho itu terkait sikap kita saat menerima takdir dan ketentuan Allah. Jadi misalnya, ketika kita —maaf dan mudah-mudahan tidak terjadi— parkir motor dan sudah pakai kunci pengaman, lalu motor kita dicuri. Menanggapi hal tersebut kita berkata: ya sudahlah…kagak apa apa saya ikhlas kok.” Kalimat yang pas sebenarnya bukan “saya ikhlas” tetapi “saya ridho”, karena itu terkait sikap kita terhadap takdir dan ketentuan Allah. Sementara ikhlas itu terkait dengan amaliah agama (baca: ibadah) yang kita lakukan, baik itu ibadah umum/’amah maupun ibadah khusus atau makhdhoh yang semuanya kita lakukan semata mata hanya karena Allah.
Jika kita memakai pendekatan santri, ridho itu posisi kita sebagai maf’ul (obyek) sementara ikhlas posisi kita sebagai fa’il (subyek). Untuk contoh hilangnya motor di atas, karena itu dicuri dan posisi kita sebagai maf’ul (obyek) yaitu kehilangan motor, maka kalimat yang tepat adalah “ridho” atas kehilangan motor tersebut. Tapi bila motor tersebut kita sedekahkan, misalnya, maka posisi kita saat itu sebagai fa’il (subyek) dengan demikian kalimat yang pas adalah “ikhlas”.
Terkait tulisan inspiratif di atas, silahkan para sahabat menilainya, apakah sikap yang ditunjukkan oleh Hajar itu masuk dalam bab ikhlas atau ridho, dan begitu pula sikap Nabiyallah Ibrahim AS, apakah kalimat yang pas, ridho atau ikhlas. Terlepas dari itu semua, yang pasti tulisan di atas menginspirasi kita untuk menjadi hamba Allah yang ridho terhadap takdir-Nya dan ikhlas dalam melaksanakan perintah-Nya sebagaimana nabiyallah Ibrahim AS dan istrinya, Hajar.
Wallahu a’lam bi al-Showab.
Semoga Bermanfaat.