Sistem pengajaran Alquran tersebut sama dengan sistem pengajaran yang dianut oleh madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah maupun Nahdhatul Ulama. Sistem pengajaran Alquran seperti itu barangkali lebih terstruktur. Namun sebelumnya, sebagai dasar membaca, murid-murid diajarkan membaca huruf Arab di papan tulis atau Iqra’ dan dilatih membunyikan dengan hafalan dan bacaan yang baik. Konon sistem pengajaran seperti itu berkiblat ke Mesir, (Kamaruzzaman, 2017:103).
Model pembelajaran Alquran tersebut juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sampai saat ini bahkan sudah lahir banyak metode tentang belajar membaca Alquran, baik dari membaca sesuai tajwid maupun qir’at (ragam bacaan Alquran). Begitu juga seni membaca Alquran juga berkembang dengan sangat baik di Indonesia. Sebagaimana yang pernah diteliti oleh Federspiel, eksistensi seni baca Alquran ini semakin menguat ketika pemerintah mulai mempromosikan ajang Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) pada tahun 1968, yang mencakup empat tingkat perlombaan: tingkat anak-anak, tingkat remaja, tingkat dewasa, dan difabel netra, (Federspil, 1994:201).
Selain itu juga terdapat pengembangan baca Al-Quran dengan menghafal. Kiai Fathoni dalam artikelnya “Sejarah dan Perkembangan Pengajaran Tahfidz Al-Qur’an di Indonesia” menyebutkan, bahwa pelopor tahfiz Al-Qur’an di Indonesia menurutnya adalah Pesantren Krapyak yang didirikan oleh KH. Muhammad Munawwir Yogyakarta, pada 1900-an, yaitu era sebelum merdeka.
Menurut kiai Fathoni, Kiai Munawwir pun membuat sebuah metode pengajaran Al-Qur’an agar santri dapat mudah menghafal Al-Qur’an. Hampir seluruh pesantren Al-Qur’an di Jawa mempraktikkan metode pembelajaran Al-Qur’an yang dikembangkan oleh kiai Munawwir tersebut.
Sejak dibukanya kelas Tahfizul Quran di Pesantren Krapyak, masyarakat pun kemudian mulai tertarik untuk menghafal Al-Qur’an. Pesantren lain pun kemudian membuka kelas yang sama. Menghafal Al-Qur’an mulai dipelajari khusus dengan serius. Menurut Fathoni, eksintensi tahfizul Quran di Indonesia makin semarak saat memasuki era Kemerdekaan 1945 hingga Musabaqah Tilawatil Quran 1981. Lembaga tahfizul Quran mulai bermunculan di periode tersebut. Di antara lembaga tersebut yakni di kalangan pesantren seperti Pesentren Al ‘Asy’ariyah Wonosobo, Jawa Tengah, milik KH Muntaha dan Pesantren Yanbu’ul Quran yang didirikan oleh KH M Arwani Amin Said.
Sampai sekarang, lembaga-lembaga pembelejaraan Al-Qur’an semakin banyak. Tidak hanya menghafal, tetapi juga belajar membaca (tahsin), tilawah dan qiraah. Hadir tidak hanya kelas offline, tetapi juga sudah ada yang belajar via online.