Dalam berbagai kesempatan (termasuk dalam perbincangan secara personal dengan saya, baik di rumahnya atau di tempat lain), ia sering mengulang-ulang poin penting ini: Bahwa sebelum datangnya Islam, masyarakat Jawa sejatinya sudah memiliki “tradisi tauhid” sebagaimana dikenal dalam agama Kapitayan. Inilah, menurut dia, yang menjelaskan kenapa Islam bisa diterima dengan gampang oleh masyarakat Jawa. Kita boleh setuju atau tidak dengan interpretasi Mas Agus ini. Tetapi yang lebih penting adalah usaha dia untuk menampilkan interpretasi alternatif terhadap proses Islamisasi di Jawa.
Gagasan lain yang menurut saya menarik adalah interpretasi Mas Agus tentang aspek kecil dalam sejarah Wali Sanga, terutama sosok “nyentrik” bernama Syekh Siti Jenar. Dia menegaskan (dan saya tidak tahu, dari mana sumbernya dia memperoleh data ini) Syekh Siti Jenar lah sosok pertama dalam sejarah Jawa yang mengenalkan konsep tentang “ingsun” sebagai pronomina atau “dlamir” untuk orang pertama.
“Ingsun” maknanya adalah “saya” dalam bahasa Jawa. Sebelum istilah ini dikenalkan oleh Syekh Siti Jenar, orang Jawa menggunakan istilah “kawula” atau “kula” untuk menunjuk dirinya sendiri. Dua istilah itu maknanya sangat merendahkan, “derogatory”: “kawula” adalah budak. Praktek linguistik ini menandakan kuatnya kultur feodalisme yang merendahkan rakyat kecil. Syekh Siti Jenar mencoba melakukan semacam “revolusi kebudayaan” dengan mengubah bentuk kesadaran subyektif masyarakat Jawa; yaitu, dengan mengenalkan konsep tentang “aku”/“ingsun” yang otonom, bukan budak para raja atau bangsawan.
Dalam masyarakat Banyumasan, praktek menyebut diri dengan “ingsun” ini masih berlaku umum hingga sekarang; berbeda dengan kawasan Jawa yang berada dalam pengaruh keraton Jawa yang lebih kuat. Dalam masyarakat Jawa yang terakhir ini, kata “kawula” lebih populer ketimbang “ingsun.”
Dalam komunitas pesantren Jawa, kosa-kata “ingsun” ini masih dipertahankan dalam tradisi memaknai (atau, dalam tradisi santri Sunda, “ngalogat”) kitab kuning yang berbahasa Arab. Biasanya, kata “ingsun” dipakai untuk menerjemahkan kata ganti orang pertama: ana atau -tu/-ni. Apakah ini ada kaitannya dengan warisan ajaran Syekh Siti Jenar yang masih dipertahankan oleh komunitas santri, saya kurang tahu. Tetapi, jika interpretasi Mas Agus ini benar, ia jelas merupakan “data kultural” yang amat menarik.
Dalam sebuah percakapan personal dengan saya, Mas Agus pernah menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar, pada dasarnya, adalah membangun kesadaran tentang “masyarakat sipil” yang mandiri dalam masyarakat Jawa. Dalam interpretasi semacam ini, kita melihat semangat Mas Agus untuk melihat sejarah dari sudut yang tidak “lazim.” Dengan kata lain, sudut pandang yang dipakai oleh Mas Agus adalah kaca-mata alternatif. Dalam ujung hayatnya, Mas Agus banyak bicara mengenai sejarah Majapahit.
Ketika berkunjung ke rumahnya di Malang beberapa tahun yang lalu, saya sempat bertanya: Apakah “njenengan” paham bahasa Jawa kuna yang disebut Kawi? Mas Agus memberikan jawaban afirmatif. Saya penasaran, dari mana Mas Agus belajar bahasa Kawi. Dia menjawab: otodidak. Pertanyaan ini sengaja saya ajukan karena saya ingin tahu sumber-sumber yang dipakai oleh Mas Agus untuk memahami sejarah Majapahit: apakah sumber primer berupa kakawin, misalnya, atau sumber sekunder. Kita tahu, sumber-sumber tentang Majapahit ditulis dalam bahasa Kawi.
Ketika saya mendapatkan jawaban bahwa Mas Agus menguasai bahasa ini, saya senang sekalin, dan berkesimpulan bahwa dia tidak “sembarangan” dalam menelaah sejarah Majapahit. Dia merujuk kepada sumber primernya. Meskipun saya tidak tahu, seberapa jauh penguasaan Mas Agus atas bahasa Jawa kuna ini. Tetapi, saya yakin bahwa Mas Agus mencoba memahami sejarah Majapahit dengan sungguh-sungguh melalui sumber-sumber primer. Dan ini, sekali lagi, menunjukkan sikap dia sebagai sejarawan profesional, meski dengan interpretasi yang tidak “lazim.”
Salah satu interpretasi dia yang menarik tentang Majapahit (meski interpretasi ini tidak terlalu orisinal, menurut saya) adalah adanya kebijakan yang secara sadar diterapkan oleh kerajaan Jawa kuna itu untuk menghormati keragaman keyakinan, sebagaimana dilambangkan dalam jargon: “bhinneka tunggal ika.” Dalam sebuah percakapan personal, dia menegasksan, bahwa prinsip inilah yang membedakan masyarakat Jawa dengan masyarakat Arab. Dengan kata lain, dalam masyarakat Jawa telah dikenal kesadaran yang mendalam tentang pentingnya menghargai keragaman keyakinan; “truth claim” atau kleim kebenaran tidaklah sekuat dalam kebudayaan Arab.
Di sini, saya memang melihat adanya kesadaran yang kuat pada Mas Agus tentang “identitas Jawa” berhadapan dengan kearaban. Saya menduga, pandangan Mas Agus ini mencerminkan “sikap populer” yang dominan dalam beberapa tahun terakhir ini, di mana masyarakat nahdliyyin secara sadar ingin mengembangkan semacam identitas Islam yang khas nusantara vis-a-vis Islam yang dibentuk oleh kebudayaan Arab.
Ada semangat “perlawanan” yang tersembunyi dalam interpretasi dia terhadap sejarah Majapahit: sejarah Majapahit yang dilihat ulang sebagi basis pembentukan identitas Jawa yang lebih positif karena menghargai perbedaan, dan kurang dibebani dengan obsesi pada “truth claim.” Jika ada sesuatu yang orisinal pada Mas Agus, saya kira ya terletak dalam aspek ini: aspek menegaskan adanya “agency” pada umat Islam yang ada di luar kawasan Arab.
Dengan kata lain, karir historiografi Mas Agus menandakan satu hal penting: ia menulis sejarah dari pinggiran, dari wilayah yang jarang dirambah oleh orang lain. Juga pendekatan yang ia pakai: pendekatan alternatif. Karena menulis sejarah dari pinggiran tidak akan bisa “dieksekusi” dengan sebaik-baiknya jika masih menggunakan pendekatan yang dominan. Pendekatannya haruslah alternatif.
Baca Juga:
Martin van Bruinessen dan Kitab Kuning
Theoria dan Praxis Agus Sunyoto
Saya ingin menutup kenangan kecil ini dengan menunjukkan hal lain yang “khas” pada Mas Agus. Semangat dia untuk menempuh historiografi alternatif ini tampak juga dalam tampilan lahiriah dan cara berpakaian. Pertama, ia selalu tampak dengan tampilan fisik yang unik: ia memiliki jenggot dan kumis yang jelas berbeda sekali dengan “jenggot salafi.” Ia selalu memakai kopiah ke manapun ia pergi. Ia memakai pakaian yang amat sederhana. Dan ia pun hidup dengan gaya hidup yang “semenjana,” sedang-sedang saja, bahkan cenderung sederhana sekali.
Orang yang duduk di samping Mas Agus tidak akan merasakan “aura pretensi” apapun. Dia tidak tampak ingin dilihat sebagai seorang kiai, intelektual, cendekiawan, dosen, atau apapun. Ia tampil tanpa beban apapun. Bagi saya, ini adalah sikap “kerohanian” yang amat patut diapresiasi. Tampilan fisik semacam ini bagi saya bukanlah sesuatu yang terjadi secara acak dan kebetulan saja. Ini jelas ada kait-mengaitnya dengan wawasan “epistemologis” Mas Agus yang ingin menempuh jalur alternatif dalam penulisan sejarah.
Dalam banyak kasus, saya sering melihat kaitan (meskipun ini sulit dibuktikan) antara wawasan teoritis seseorang dengan cara ia berpakaian, bertindak, dan berbicara di depan khalayak ramai. Seseorang yang memiliki “passion” pada kekuasaan dan politik, misalnya, cenderung (meski ini tidak “muttarid,” berlaku dalam semua kasus) akan tampil dengan gaya hidup dan berpakaian tertentu. Saat berbicara dan bercakap-cakap dengan Mas Agus pun, saya tidak merasakan adanya “pretensi” tertentu. Dia memiliki “strong opinion,” pendapat yang solid mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sejarah, tetapi dia tidak cenderung memaksakan pendapatnya itu, atau mendakwahkannya secara “misionaris” kepada orang-orang lain. Ketawadlu’an intelektual semacam ini amat memikat saya. Jujur saja, saya selalu memendam rasa “jengkel” pada pemikir atau intelektual yang “pretensius,” apalagi arogan.
Dengan kata lain, sikap keilmuan Mas Agus dalam bidang sejarah tidak saja berhenti sebagai “posisi teoritis” saja, melainkan “tembus” ke dalam laku kehidupan sehari-hari. Karena itu, di mata saya, Mas Agus bukan sekedar seorang “ilmuwan” dan “sejarawan” dalam pengertian yang kita kenal di kalangan academia. Dia menulis sejarah sebagai ilmu dan sebagai laku sekaligus. Ini adalah “etos kesarjanaan” yang jelas tidak asing bagi orang-orang yang pernah menjalani pendidikan di pesantren. Theoria dan praxis, ilmu dan amal bersatu, bukan dua hal yang dipisahkan. Bagi Mas Agus, menulis sejarah juga bukan semata-mata tindakan ilmiah belaka, tetapi “tindakan etis.” Apa yang saya maksud dengan tindakan etis di sini ialah sesuatu yang dikerjakan dengan tanggung-jawab moral-etis tertentu.
Dengan kata lain, menulis sejarah mengandung sebuah “misi moral,” bukan semata-mata menafsirkan peristiwa sosial dengan sikap yang (seolah-olah) “obyektif.” Tanggung jawab moral di sini ialah: membela orang-orang yang lemah, dan memberdayakan mereka. Ini, tiada lain, adalah perwujudan langsung dari ajaran “ingsun” yang diwedarkan oleh Syekh Siti Jenar sebagaimana dipahami oleh Mas Agus. Menulis sejarah adalah menulis narasi dengan tujuan pokok: menanamkan kesadaran “ingsun” yang otonom dan merdeka pada komunitas yang selama ini dipinggirkan atau dipandang bukan sebagai sumber yang layak untuk penulisan sejarah.
—Jatibening, 17 Juni 2021—