Sedikit banyak, Indonesia dapat mencontoh pilar kebangsaan yang diajarkan oleh Nabi. Di tangan para pendiri bangsa, Islam tidak menjadi ideologi yang berhadap-hadapan dengan Pancasila, melainkan bersenyawa dengan Pancasila. Nadhlatul Ulama melalui Musyawarah Nasional tahun 1983 telah membuktikan hal ini.
Akan tetapi, yang kita hadapi belakangan ini semakin hari semakin mengkhawatirkan. Keberislaman kita semakin mundur ke belakang. Kesalehan seseorang diukur semata-mata hanya dari tampilan fisik semata; jenggot yang panjang, dahi yang hitam, celana cingkrang, berpoligami, dan sebagainya. Jika tidak seperti itu seakan-akan tidak shaleh, tidak mengamalkan Islam.
Perbincangannya pun semakin mundur. Wacana-wacana keislaman yang progresif yang dibawa oleh wali songo, para kiai terdahulu yang kemudian dilanjutkan oleh Gus Dur, Cak Nur, Quraish Shihab, dan sebagainya semakin tidak mendapatkan tempat.
Baca: Perspektif Islam tentang NKRI, Pancasila dan Kebhinekaan (Bagian Kedua)
Yang terjadi, al-Qur’an seakan tidak boleh ditafsirkan. Kitab-kitab tafsir para ulama sholeh seperti al-Thabari, Ibn Katsir, al-Qurtuby, dan sebagainya divonis tidak otoritatif untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Rumusan ushul fikih, qawaid fikih dan fikih dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan Imam Ahmad bin Hambal dituduh bukan “islam” itu sendiri.
Baca Juga: Keluar dari Monopoli Makna Jihad
Mereka ingin langsung masuk ke dalam ayat-ayat al-Qur’an tanpa melalui perantara para ulama. Padahal, tentu saja, kemampuan pemahaman keislaman mereka pasti tidak akan sebaik Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i. Karena keterbatasannya terhadap Bahasa Arab, mereka menganggap bahwa terjemah al-Qur’an adalah al-Qur’an itu sendiri. Padahal tidak demikian.
Praktik keberislamannya pun mengalami kemunduran. Sebagian umat Islam menjadikan Islam sebagai identitas semata, dilucuti dari nilai dan ajaran yang sangat mulia itu. Dimensi etis dan tasawuf dari Islam semakin ditanggalkan, dan formalisme ritus-ritus tanpa dibarengi pemaknaan yang memadai semakin digalakkan. Salah satu akibatnya adalah umat Islam mudah dipolitisasi.
Atas dasar inilah, kenapa islamina ini hadir adalah untuk media belajar umat Islam Indonesia agar semakin mengerti tentang Islam yang sebenarnya.