- Tidak memaksakan kehendak, berikan apresiasi pada anak, dengarkan pendapatnya. Bila kita pandang anak kurang faham apa yang kita inginkan berikan arahan dan penjelasan dengan alasan-alasan yang bisa dia terima. Namun jangan juga memberikan kebebasan yang berlebihan pada anak, atau memberikan sikap permisif yang berlebihan yang akhirnya anak tidak menghormati orang tua. Yang dimaksud sikap permisif yang berlebihan adalah satu sikap yang memberi kebebasan sepenuhnya kepada anak tanpa ada usaha untuk mengarahkan dan memberi bimbingan. Disinilah diperlukan kecerdasan dan kebijakan orang tua dalam berdialog pada anaknya.
- Ciptakan kondisi yang menggembirakan. Jangan merasa gengsi untuk bercanda dengan anak-anak. Terkadang untuk membangun dialog, agar ananda terbuka dengan kita dibutuhkan candaan-candaan untuk membuat suasana nyaman dan menggembirakan. Ciptakanlah suasana dan kondisi seperti itu. Buat ananda betah ketika kita bersama mereka, bukan sebalikya. Buat suasana agar anak merasa terlindungi tatkala bersama kita, bukan sebaliknya. Kita bisa contoh beberapa kisah berikut Ini:
عَنْ يَعْلَى بْنِ مُرَّةَ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدُعِينَا لِطَعَامٍ , قَالَ فَإِذَا الْحُسَيْنُ يَلْعَبُ فِي الطَّرِيقِ فَأَسْرَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَامَ الْقَوْمِ ثُمَّ بَسَطَ يَدَيْهِ فَجَعَلَ حُسَيْنٌ يَمُرُّ مَرَّةً هَهُنَا وَمَرَّةً هَهُنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَاحِكُهُ حَتَّى أَخَذَهُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى يَدَيْهِ فِي ذَقْنِهِ وَالأُخْرَى بَيْنَ رَأْسِهِ ثُمَّ اعْتَنَقَهُ فَقَبَّلَهُ
Dari Ya’la bin Murrah ia berkata, “Kami keluar bersama Nabi lalu kami diundang untuk makan. Tiba-tiba Husain sedang bermain di jalan, maka Rasulullah segera (menghampirinya) di hadapan banyak orang. Beliau membentangkan kedua tangannya lalu anak itu lari ke sana kemari dan Nabi mencandainya agar tertawa sampai beliau (berhasil) memegangnya lalu beliau letakkan salah satu tangannya di bawah dagu anak tersebut dan yang lain di tengah-tengah kepalanya kemudian Rasulullah membebaskanya dan menciumnya,” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Rasulullah SAW bermain-main dengan anak kecil lainnya. Misalnya riwayat yang dikisahkan dari Mahmud bin Rabi’ RA:
عَقَلْتُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَجَّةً مَجَّهَا فِي وَجْهِي وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ مِنْ دَلْوٍ
“Aku masih ingat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa semburan air yang beliau semburkan ke wajahku. Ketika itu aku baru berusia lima tahun dan beliau mengambil air dari ember.” (HR. Bukhari)
Berikan pengertian kepada mereka, ada hal-hal yang bisa didialogkan dan ada yang tidak. Misal dalam hal ibadah mahdhoh—seperti sholat dan puasa— mungkin dialog dalam menyampaikan materi ibadah dan dalam upaya untuk lebih memahami, tidak mengapa. Tetapi ketika dialog sudah mengarah kepada upaya untuk memudah-mudahkan urusan ibadah bahkan cenderung untuk mengabaikannya, maka tidak ada toleransi. Dalam arti kita kudu tegas—bukan kasar— jangan sampai karena alasan toleransi akhirnya ananda kita mengabaikan perintah Allah dan Rasul-Nya.
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَناَ فِي أَوْلَادِناَ وَلَا تَضُرَّهُمْ وَوَفِّقْناَ وَاِياَهُمْ لِطَاعَتِكَ وَارْزُقْناَ بِرَّهُمْ
“Ya Allah berilah barokah untuk hamba pada anak-anak hamba, janganlah Engkau timpakan marabahaya kepada mereka, berilah kami dan anak kami taufik untuk taat kepada-Mu dan karuniakanlah hamba rezeki berupa bakti mereka”.
Wallahu a’lam
Semoga bermanfaat.