Hak Anak Laki-laki dan Perempuan
Bagi sebagian orang, adil berarti sama. Termasuk dalam hal warisan yang harus diserahkan kepada ahli waris. Padahal, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran, perempuan mendapat setengah dari bagian laki-laki. Artinya, laki-laki berhak mendapatkan bagian lebih banyak.
Jika ditelisik, syariat Islam membedakan keduanya dalam masalah waris karena adanya hikmah yang sangat banyak. Hikmah yang perlu direnungkan agar kita memahami mengapa laki-laki mendapatkan lebih banyak dari perempuan.
Ada beberapa alasan yang perlu diketahui dan ini penting untuk dipahami bersama agar tidak ada kesalahpahaman perihal hak waris.
Pertama, biaya dan kebutuhan hidup perempuan telah dijamin. Kewajiban menafkahinya dibebankan kepada anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, atau kerabatnya yang lain. Kedua, perempuan tidak dibebani menafkahi siapa pun, berbeda dari laki-laki yang dibebani kewajiban menafkahi keluarga, sanak saudara, dan orang-orang yang diwajibkan untuk dinafkahi olehnya. Ketiga, jumlah nafkah yang harus dikeluarkan laki-laki lebih gemuk dan kewajiban-kewajiban finansialnya lebih banyak sehingga kebutuhan akan harta jauh lebih besar daripada perempuan.
Dari beberapa uraian di atas begitu jelas bahwa kebutuhan hidup dan kewajiban mengeluarkan harta jauh lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Perbedaan pembagian warisan tidak seharusnya menjadi masalah apalagi pertengkaran yang tidak ada ujung. Syariat Islam telah mengatur pembagian warisan, dan umat harus bisa menerima segala peraturan yang ditetapkan sesuai ajaran syariah.
Masalah ini diperjelas dalam firman Allah Swt, “(Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.”
Ada banyak pembahasan perihal warisan dalam kitab ini yang dijelaskan dengan lengkap dan pembahasan yang mudah untuk dipahami. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Turos (2022) dengan judul Al-Mawaris fi Syariah: Bagi Waris Nggak Harus Tragis. Selain membaca kitab asli, mungkin kita juga perlu membaca versi terjemahannya untuk lebih memahami hal-hal yang dianggap sulit di dalam kitab aslinya.
Baca Juga: Dialektika Fikih dan Hukum Positif tentang Pencatatan Nikah