Minggu pagi kemarin setelah saya menge-share renungan subuh ada seorang sahabat yang men-chat saya, dan memberikan request : “ usul sekali waktu ada tema tentang gibah yah.” Saya jawab : in syaa Allah akan sampai bang.”
Siangnya saya sempat chat-an dengan sahabat yang lain tentang kiat menulis yang baik,karena beliau sudah menghasilkan beberapa karya buku. Saya sempat konsultasi terkait tidak adanya mood dan sesuatu yang menginspirasikan kita untuk menulis. Yang terakhir ini saya alami,. Kebiasaan saya bila sudah seperti ini—menghadapi kondisi yang sulit dan membuat suasana hati kurang nyaman— ya.. memperbanyak istighfar dan sholawat Nabi.
Alhamdulillah, tidak lama kemudian, saya teringat request sahabat yang minta tema gibah. Jadilah gibah sebagai bahan renungan kali ini, disamping saya juga memenuhi janji untuk menulisnya.
Dalam KBBI, kata gibah berarti membicarakan keburukan (keaiban) orang lain. Asal kata gibah dari bahasa Arab yaitu غ ي ب yang arti dasarnya sesuatu yang tersembunyi. Dalam perkembangan katanya, terbentuk kata gaib—suatu yang tidak tampak—, dan gibah. Jadi gibah itu terkait dengan sesuatu yang harusnya disembunyikan, bukan ditampakkan atau bisa juga obyek yang dibicarakan sedang tidak ada atau gaib. Dari makna ini, dapat disimpulkan bahwa pembicaraan bisa diketegorikan gibah bila orang yang dibicarakan tidak ada dan obyek pembicaraannya tentang kekurangan atau aib seseorang yang sepatutnya disembunyikan, karena orang tersebut tidak suka dengan pembicaraan tersebut.
Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar pada bab Tahrim al-Gibah wa an-Namimah menjelaskan:
اعلم أن هاتين الخصلتين من أقبح القبائح وأكثرها انتشاراً في الناس، حتى ما يسلمُ
منهما إلا القليل من الناس،…. فأما الغيبة : فهي ذكرُك الإِنسانَ بما فيه مما يكره، سواء كان في بدنه، أو دينه أو، دنياه أو نفسه،
أو خَلقه، أو خُلقه، أو ماله، أو ولده، أو والده، أو زوجه، أو خادمه، أو مملوكه، أو عمامته، أو ثوبه، أو مشيته، وحركته وبشاشته وخلاعته، وعبوسه، وطلاقته، أو غير ذلك مما يتعلق به، سواء ذكرته بلفظك أو كتابك، أو رمزتَ، أو أشرتَ إليه بعينك، أو يدك، أو رأسك أو نحو ذلك
“Ketahuilah bahwa Gibah dan namimah adalah sesuatu yang amat jelek, namun tersebar raamai di tengah-tengan masyarakat. Yang bisa selamat dari tergelincirnya gibah dan namimah hanyalah sedikit….Adapun yang namanya Gibah adalah membicarakan sesuatu yang ada pada orang lain, namun yang diceritakan adalah sesuatu yang ia tidak suka (untuk diperdengarkan pada orang lain). Sesuatu yang diceritakan tersebut bisa terkait dengan badannya, agamanya, dunianya, dirinya, akhlaknya, bentuk fisiknya, hartanya, anaknya, orang tuanya, istrinya, pembantunya, budaknya, pakaiannya (imamah dan tsaub), cara jalannya, gerak-geriknya, wajah berserinya, kebodohannya, wajah cemberutnya, kefasihan lisannya, atau semua yang berkaitan dengannya. Baik dilakukan dengan cara melalui lisan, tulisan, isyarat, atau bermain isyarat dengan mata, tangan, kepala atau yang semisal itu.”
Dalil tentang larangan gibah adalah firman Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ