Dindin M. Machfudz (2015) menyatakan bahwa, pada perkawinan jilid kedua Nabi Muhammad, rumah tangga beliau juga mengalami pasang surut atau riak-riak, termasuk munculnya blok-blokan antara kelompok istri berusia muda dan kelompok istri berusia matang. Seperti antara Aisyah dan Zainab binti Jahsyi yang masih kerabat Nabi yang perkawinannya atas perintah Allah, serta antara Aisyah dengan Mariah yang melahirkan putra bungsu Nabi bernama Ibrahim.
Dari keterangan di atas begitu jelas bahwa perselisihan suami-istri itu lumrah karena perkawinan menggabungkan dua manusia dari latar belakang karakter kepribadian yang berbeda, tradisi keluarga yang berbeda, hobi berbeda, serta nilai-nilai kehidupan filosofis yang juga berbeda.
Karena itu, perselisihan yang terjadi harus bisa diredam agar pernikahan tetap langgeng. Jika setiap pasangan suami-istri berhasil menghadapi masalah dengan bijak, maka tidak akan ada kasus perceraian atau “Layangan Putus” dalam kehidupan rumah tangga.
Tetapi memang, setiap orang memiliki kapasitas yang berbeda dalam menyelesaikan suatu masalah. Ada yang berusaha tenang saat rumah tangganya diterpa masalah. Tetapi, tak sedikit yang tempramental sehingga api perselisihan semakin berkobar dan berujung pada perceraian.
2. Menjalin Komunikasi yang Baik
Perceraian yang terjadi di antara sepasang suami-istri tidak hanya disebabkan oleh perselingkuhan. Masalah-masalah kecil bisa menjadi penyebab retaknya kehidupan rumah tangga. Perselisihan dengan mertua, misalnya, jika tidak dihadapi dengan tenang, maka akan berujung pada perpisahan.
Di sinilah pentingnya komunikasi antara suami dan istri. Mengelola hubungan dan kehidupan suami-istri harus selalu diperbarui dari waktu ke waktu. Jangan sekali-sekali memandang kehidupan suami-istri sudah final atau semifinal. Dinamikanya harus selalu dikelola dan disikapi dengan cerdas, dewasa, arif, saling percaya, saling berkhidmat, kritis, serta selalu introspeksi dan mengevaluasi.
3. Hindari KDRT
Seorang suami harus bisa menjadi pemimpin rumah tangga yang baik. Istri adalah pakaian bagi suami. Layaknya pakaian, harus bisa saling menutupi kekurangan dan melengkapi ketidaksempurnaan. Jangan sampai kejelekan seorang istri menjadi konsumsi publik. Aib seorang istri, begitu pun sebaliknya, harus disimpan dengan rapi.
Nabi Muhammad adalah contoh seorang pemimpin keluarga yang senantiasa bijak menghadapi berbagai masalah yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Nabi tak pernah bersikap kasar kepada seorang pun di antara istri-istrinya. Meskipun menghukum istri diperbolehkan agama, beliau melarang sebagaimana sabdanya, “Apakah engkau tidak malu memukul istrimu? Siang kamu pukuli, malam kamu kumpuli?”
Seorang istri bukanlah manusia sempurna. Dalam kesehariannya, lazim melakukan berbagai kesalahan. Namun, tidak sepantasnya seorang suami bersikap kasar dan memukul sang istri sedemikian rupa. Dalam memberikan hukuman, Nabi Muhammad lebih memilih sanksi yang menimbulkan efek psikologis, misalnya ditinggal, lama atau sebentar, setelah tidak mempan diberi peringatan atau ditegur baik-baik. Cara ini diakui oleh ahli pendidikan sebagai terapi psikologis yang paling efektif (Nizar Abazah, 2014).
Ketika memutuskan untuk menikah, seseorang harus bisa bertanggung jawab dengan keputusannya. Seorang suami harus bisa memimpin istri dan membimbingnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Jika ada masalah harus bisa diselesaikan dengan baik. Sebagaimana dipraktekkan oleh Nabi Muhammad, kita juga harus bisa menjalani kehidupan rumah tangga dengan penuh cinta kasih sehingga mampu menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. (*)